Profil Biografi Al Habib Umar bin Abdurrahman Al Attas Lengkap - Beliau ialah Umar bin Abdurrahman bin Agil bin Salim bin Ubaidullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Syeikh al Ghauts Abdurrahman as-Seggaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alawi al Ghoyur bin Sayyidina al Faqih al Muqaddam Muhammad bin Ali bin Imam Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidullah bin Imam al Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad an Naqib bin Imam Ali al Uraidhi bin Jaafar as Shadiq bin Imam Muhammad al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Hussein as Sibith bin Imam Ali bin Abi Thalib dan bin Batul Fatimah az-Zahra binti Rasullullah S.A.W.

Asal dinamakan Al Attas

Kata al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad: “Beliau dinamakan al-Attas yang bermaksud bersin, karena ia pernah bersin ketika masih berada di dalam perut ibunya”. Kata al- Habib Ali bin Hassan al-Attas: “Sebenarnya apa yang diucapkan oleh Syeikh al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad ialah benar, hanya saja menurut khabar yang paling benar dikatakan bahwa pertama kali bersin ketika masih berada di perut ibunya ialah Habib Aqil yang terkenal hanya Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas, sehingga isu itu hanya dikenal pada diri ia dan anak ia dan anak cucu Aqil dan Abdullah, saudara beliau. Sedangkan anak cucu Sayyidina Aqil bin Salim yang lain dikenal dengan nama keluarga Aqil bin Salim”.

Berkata al-Habib Ali bin Hassan: “Tidak henti-hentinya didengar dari mereka bunyi bersin di perut-perut sebahagian ibu waktu demi waktu, sebagaimana yang diberitahukan oleh isteriku, seorang wanita solehah. Syeikha binti Sahal bin Abi Bakar bin Syaiban bin Ahmad bin Ishaq, katanya: “Pada suatu hari sewaktu saya duduk bersama Sharifah Fatimah bin Habib Muhammad Basurah Ba’alawi, waktu itu saya sedang mengandung puteramu yang berjulukan al Hasan yang pertama, saya terdengar ia bersin ketika ia masih di dalam perutku, saya dan Sharifah Fatimah mendengar bunyi bersin itu dengan jelas, dan ia dilahirkan pada waktu 1147 H, tetapi ia wafat waktu masih kecil”.

Al Habib Ali bin Hussain al-Attas menyebutkan di dalam kitabnya Ta’jul A’raas juz pertama halaman 40. bahwa di Mekah pernah didengar bunyi bersin dari anak yang masih di dalam perut ibunya, tentunya kejadian itu termasuk kejadian karamah yang diakui oleh kalangan Ahlu Sunnah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab-kitab Tauhid dan Aqoid mereka beserta dalil-dalilnya yang terkenal yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.

Imam Nawawi pernah menyebutkan di dalam kitabnya Riyaadhus Shalihin di dalam episode al-Karamat. Disebutkan dalam kitab itu sebuah hadith yang memberitakan kisah seorang rahib yaang berjulukan Juraij, yang kerananya Tuhan menakdirkan seorang bayi bercakap-cakap untuk memperlihatkan kesaksian ihwal diri Juraij, tentunya bersin ketika seorang bayi masih di dalam kandungan ibunya tidak berbeda jauh dengan seorang bayi yang bisa bercakap-cakap setelah ia lahir, kejadian-kejadian semacam ini tidak sulit bagi Tuhan karena Tuhan Maha Kuasa untuk mentakdirkan apa saja yang Dia kehendaki.

Tempat Kelahiran

Beliau dilahirkan di desa Lisk bersahabat dengan desa Ainat, di episode bawah negeri Hadhramaut, di selesai kala ke-10, tepatnya pada tahun 229H. Sejak kecilnya ia diasuh dan dididik oleh ayah ia sendiri, al-Habib Abdur Rahman bin Aqil. Meskipun mata ia buta semenjak kecil, tetapi Tuhan memberinya kecerdasan otak dan pandangan hati (Bashirah), sehingga ia mudah menghafal apa saja yang pernah didengarnya.

Ayah beliau, al-Habib Abdul Rahman bin Aqil pernah berkata pada Syeikh Abdurrahman bin Aqil al-Junied Bawazir yang dikenal dengan panggilan al-Mu’allim: “Hendaknya anda lebih banyak memperlihatkan perhatian kepada Umar, karena kedua matanya tidak dapat melihat”. Jawab Syeikh Abdurrahman: “Meskipun kedua mata Umar tidak dapat melihat, tetapi pandangan Bashirahnya dapat melihat, disebabkan hatinya bersinar”.

Sejak kecil ia anak yang tekun beribadah, hidup zuhud berpaling dari dunia dan semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kebesaran pada diri beliau. Sejak kecil, ia sering ke kota Tarim dari dusunnya Lisk dan melaksanakan sholat dua rakaat di setiap masjid yang ada di kota Tarim, bahkan kadang menimba air dari sumur untuk mengisi kolam-kolam masjid.

Di masa kecilnya, ia senantiasa dibimbing oleh ayah ia dan guru-guru beliau, misalnya al-Habib Hussien, al-Habib Hamid, al-Habib Muhdhor, putra-putra Saiyidina Syeikh Abu Bakar bin Salim yang sering dikunjungi oleh ayah beliau, yaitu al-Habib Abdul Rahman bin Aqil.

Ayah Beliau

Al-Habib Abdul Rahman bin Aqil ialah seorang Arif Billah, seorang ulama yang taat menjalani hukum-hukum Allah, ia tokoh para wali terkemuka, ia pernah mendapatkan ilmu dan wilayah dari pamannya, yaitu Syeikh bubuk Bakar bin Salim, pamannya yang satu ini amat cinta kepada Sayyid Abdul Rahman dan kepada ayah ia yaitu al-Habib Aqil. Al-Habib Aqil ialah saudara sekandung dengan Syeikh bubuk Bakar bin Salim, yang mana Syeikh Abu Bakar bin Salim ada menyebut ihwal saudaranya yang satu ini:

“Apa yang ada di Wali Masyhur ( yaitu dirinya ), tidak lain hanyalah berkat Wali Mastur ( yaitu saudaranya yang berjulukan Aqil )”

Al-Habib Abdul Rahman bin Aqil ialah seorang yang mulia, suci dan hati yang bersih, ia sering mengunjungi Wadi Amed dan Wadi Kaser, penduduk kawasan-kawasan itu senantiasa menghormatinya, mengagungkannya dan memohon barokah beliau. Beliau mempunyai banyak sekali karomah, di antaranya ialah pada suatu hari ia berkunjung di suatu desa yang ada di Wadi Amed. Ketika itu hujan turun lebat sehingga ia berkata kepada untanya: “Pergilah engkau dan carilah sebuah tempat berteduh dan akupun akan berbuat yang sama dan besok kita bertemu di desa Qaran bin Adwan”. Keesokan harinya ketika ia tiba di desa Qaran, maka beliiau tidak mendapati untanya, sehingga ia bertanya kepada pembantunya: “Ke manakah perginya unta?” Tetapi sang pembantu tidak dapat menemukannya. Pada keesokan paginya, unta itu datang lengkap dengan barang-barangnya.

Ketika al-Habib Abdul Rahman wafat di kota Huraidhah, maka al-habib Umar menyuruh pembantunya untuk membantu pencari tanah yang cocok untuk dijadikan sebagai kuburan ayahnya, akhirnya sang pembantu mendapatkan sebidang tanah yang ditandai dengan sebuah tiang dari cahaya, akhirnya al-Habib Abdul Rahman dimakamkan di tempat tersebut. Biasanya bila al-Habib Umar berziarah ke makam ayahnya, maka ia bercakap-cakap dengan ayah ia dari balik kubur.

Al-Habib Abdul Rahman bin Aqil menikah dengan dua orang wanita, yaitu Syarifah Muznah binti Muhammad bin Ahmad bin Alawi al-Jufri. Syarifah ini ialah bunda bagi al-Habib Umar dan saudara-saudara sekandungnya, yaitu al-Habib Abdullah dan al-Hababah Alawiyah. Selanjutnya ia menikah dengan seorang wanita dari Yemen dari keluarga al-Bathouq salah satu dari kabilah Bani Ahmad yaitu Arobiyah binti Yamani Bathouq. Isteri ia yang kedua ini melahirkan beberapa orang anak di antaranya Aqil, Sholeh, Musyayakh dan Maryam.

Pada umumnya ia berdomisili di Lisk, tetapi ia sering berkunjung ke Ainat, Tarim, Wadi Amed, al-Qaser dan Do’an. Akhirnya ia ditakdirkan pindah di Huraidzah beberapa ketika sebelum ia wafat yaitu bertepatan ketika al-Habib Umar telah mendapat petunjuk dari kedua guru ia yaitu al-Habib Hussein adn al-Habib Hamid putra Syeikh Abu Bakar bin Salim untuk pindah ke Huraidzah. Di desa Huraidzah inilah ia wafat.

Ibu Beliau

Ibu ia berjulukan Syarifah Muznah binti Muhammad bin Alawi al-Jufri. Ibu ia termasuk seorang yang shalih. Dikisahkan bahawa putra Syarifah Muznah meninggal dunia dalam usia kecil, ia berjulukan Ahmad. Setelah beberapa hari dari ketika kematiannya, maka ada seekor burung kecil berwarna hijau yang sering datang mengunjungi Syarifah Muznah ini, hingga ia berkata. “Jika engkau ialah ruh putraku yang telah wafat, maka datanglah ke tanganku”. Setelah Syarifah Muznah mengulurkan tangannya, maka burung kecil itu hinggap ke tangannya dan menciumnya, kemudian ia melepaskannya kembali, sehingga burung itu terbang dari tangan beliau.

Saudara Beliau

Beliau mempunyai empat orang saudara lelaki dan dua perempuan. Adapun yang sekandung dengan ia ialah Abdullah dan Alawiyah, sedangkan Sholeh, Aqil, Musyayakh dan Maryam saudara dari ayah, ibu mereka seorang wanita Yemen dari keluarga Bathouq dari kabilah Bani Ahmad.

Adapun saudaara ia yaitu al-Habib Abdullah bin Abdul Rahman termasuk seorang tokoh wali yang terkenal, ia pernah melaksanakan banyak sekali latihan riadah dan mujahadah. Dan pergi berdakwah ke gunung Al Yafi’ tempat Bani Yafi’, setelah mendapat izin dari gurunya yang berjulukan al-Habib Hussein bin Abu Bakar bin Salim dengan disertai oleh pembantunya yang berjulukan Ali bin Ahmad Harharah Al Yafi’i.

Beliau menetap di desa Ma’zubah, sempat menikah di desa itu dan mempunyai anak cucu. Makam ia dan anak-anaknya di desa itu banyak diziarahi orang dari banyak sekali tempat yang jauh. Mereka diberi banyak sekali karomah yang tidak sedikit jumlahnya, menurut al-Habib Ali bin Hassan al-Attas, anak cucu beliau, ada seratus orang lebih yang sempat dihitung di waktu Habib Ali masih hidup.

Saudara Habib Umar yang berjulukan al-Habib Aqil dikenal sebagai seorang ulama yang selalu mengamalkan ilmunya. Al-Habib Aqil ini pernah berguru dari Syeikh Muhammad bin Umar al-Afif di desa al-Hajrain, hingga banyak orang yang menimba ilmu dari ia setelah ia kembali ke Huraidzah. Setiap harinya al-Habib Umar menyempatkan diri untuk menghadiri Majlis Ta’lim al-Habib Aqil setiap kali setelah ia kembali dari makam ayahnya.

Al-Habib Aqil wafat di kala Habib Umar masih hidup. Beliau meninggalkan beberapa putra dan putri. Setelah ayahnya wafat, maka Habib Umar mengasuh mereka dengan sebaik-baik asuhan. Setelah putra-putra Habib Aqil dewasa, maka al-Habib Umar mengawinkan dengan putri-putri beliau.

Adapun Musyayakh termasuk seorang yang sholeh, ia wafat di masa hidup al-Habib Umar, ia meninggalkan seorang putri. Adapun Sholeh, ia mempunyai seorang putra berjulukan Hussein. Adapun saudaranya yaitu Maryam, telah menikah dengan Habib Syeikh bin Abdillah al-Musawa, dan mempunyai beberapa orang putra.

Pindahnya al-Habib Umar ke kota Huraidhah

Al-Habib Hussein bin Abu Bakar bin Salim sering berkata: “Wahai keluarga Ba’alwi Huraidzah?” Maka dikatakan kepada ia bahwa tidak seorang pun dari keluarga Ba’alwi yang ada di desa itu, maka ia berkata: “Kelak di desa itu akan didatangi keluarga Ba’alwi, wajah-wajah mereka bagaikan bulan, dan akan memperlihatkan manfaat kepada orang banyak.”

Ketika al-Habib Umar mencapai usia bakir baligh, maka guru ia yang berjulukan al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim menyuruh ia untuk berdakwah ke desa al-Huraidzah. Demikian pula guru ia yang berjulukan al-Habib Hamid bin Syeikh Abu Bakar juga menyuruh ia untuk segera berdakwah di desa al-Huraidzah. Maka dengan bekal perintah dari kedua guru beliau, al-Habib Umar segera berdakwah ke Huraidzah.

Al-Habib Ali bin Hussain al-Attas menyebut di dalam kitab Taajul A’raas juz 2 halaman 111 bahwa pada mulanya al-Habib Umar sering pulang pergi ke Huraidzah. Akhirnya ia menetap di sana pada tahun 1040 H.

Ketika al-Habib Umar tiba di Huraidzah untuk pertama kalinya, ia diminta oleh Syeikh Najjaad Adz Dzibyani untuk menetap di rumahnya, dia sangat menghormati ia dan mengatakan: “Ini rumah-rumahmu” Sehingga Syeikh Najjaad mendapat barokah yang luar biasa dari beliau.

Di desa itu ada seorang wanita yang berjulukan Sholahah, ia bernazar untuk memperlihatkan hartanya dan episode dari rumahnya kepada Habib Umar, kemudian al-Habib Umar meminangnya sebagai imbalan atas kebajikannya itu.

Selanjutnya, sebelum al-Habib Umar menetap di desa al-Huraidzah, maka ia kembali ke desa Lisk lebih dahulu untuk mengajak ayahnya dan saudara-saudaranya untuk pindah ke Huraidzah. Pada mulanya seruan al-Habib Umar untuk pindah ke desa Huraidzah ditolak ayah beliau, tetapi setelah keduanya minta pendapat dari al-Habib Hamid dan al-Habib Hussein, maka kedua guru ia menyuruh al-Habib Abdul Rahman untuk mengikuti minat al-Habib Umar. Keduanya mengatakan: “Wahai Abdul Rahman, pergilah bersama Umar, dan ikuti serta pegangi pendapatnya, sekalipun kau ialah ayahnya dan dia anakmu”. Sehingga al-Habib Abdul Rahman berkata kepada putranya: “Wahai Umar, kalau sekarang kami mau mengikuti pendapatmu , maka lakukanlah apa saja yang terbaik bagi kami”. Selanjutnya seluruh keluarga al-Habib Umar segera meninggalkan Lisk menuju ke desa al-Huraidzah. Ketika rombongan itu tiba di desa Manwab, maka al-Habib Umar berkata: “Hendaknya kalian melanjutkan perjalanan hingga ke Huraidzah, karena saya hendak singgah dulu di tempat istriku yang ada di desa ini”. Maka rombongan itu meneruskan perjalanannya ke desa al-Huraidzah, sedangakan al-Habib Umar singgah dan menetap di desa Manwab selama satu minggu.

Al-Habib Abdul Rahman, ayah al-Habib Umar mulai merasa sakit setibanya ia di desa Huraidzah, dan karena sakit setibanya beliau, maka ia takut kalau ajalnya tiba, sedangkan Habib Umar tidak ada di sisi beliau, karena itu ketika al-Habib Umar tiba, maka ia menegur al-Habib Umar, tetapi al-Habib Umar mengajukan alasannya dan mohon maaf sebesar-besarnya atas keterlambatannya itu, sehingga ayahnya mau memaafkannya.

Dan sakitnya yang menyebabkan ajalnya tiba itu, al-Habib Abdul Rahman merasa takut kalau al-Habib Umar tidak memperhatikan saudara-saudaranya yang masih kecil dari ibu lain, karena ia tahu ibu tirinya al-Habib Umar tidak sayang padanya sebagaimana umumnya kaum wanita. Di ketika ayahnya risaukan hal itu, maka al-Habib Umar yang mengetahuinya secara Khasaf, maka ia mendekati ayahnya dan ia berkata: “Wahai ayahku, tenanglah jangan engkau fikirkan ihwal keluargamu, saya Insya-Allah akan menyayangi saudara-saudaraku lebih dari menyayangi diriku sendiri”. Maka hati al-Habib Abdul Rahman menjadi gembira dan ia mendoakan kebajikan bagi Habib Umar, apalagi di ketika itu, ia sedang menyaksikan alam akhirat, tentu doa seorang ayah yang sholeh bagi anaknya yang sholeh pula, akan sama dengan doa seorang Nabi buat umatnya, apalagi al-Habib Abdul Rahman waktu itu sedang sakit, Rasulullah pernah bersabda: “Jika kalian mengunjungi orang yang sedang sakit, maka mintalah doa bagi kalian”. Al-Habib Umar memenuhi janjinya kepada ayahnya dan ia sangat memperhatikan kebutuhan saudara-saudaranya, terutama dari segi pendidikan dan pemeliharaannya.

Wafatnya ayahanda al-Habib Umar

Beliau wafat setelah delapan hari tiba di desa al-Huraidzah. Al-Habib Umar sibuk mempersiapkan perawatan mayit ayah beliau, kemudian ia menyuruh pembantunya Mahmud an-Najar untuk memilih kubur bagi ayahnya. Ketika Mahmud masuk di perkuburan al-Huraidzah, maka ia dapatkan ada sebuah tanah yang disinari seberkas cahaya langit, maka di tempat itulah al-Habib Abdul Rahman dikuburkan.

Al-Habib Umar rajin berziarah ke makam ayahnya, bahkan tidak seharipun ia pernah melupakannya. Pada suatu hari al-Habib Umar berkata: “Ketika saya tidak berziarah ke makam ayahku selama beberapa hari, maka saya lihat ayahku dalam mimpiku amat murka kepadaku kerana saya tidak menziarahi ia selama beberapa hari, saya lihat jasad ia menjadi besar, sehingga saya sulit untuk berjabat tangan dengan ia dikarenakan tingginya jasad beliau”.

Hubungan al-Habib Umar dengan Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif

Dulu sebelum al-Habib Umar tiba di desa al-Huraidzah, maka penduduknya sangat berkeyakinan kepada kewalian para sesepuh al-Masyaikh dari keluarga al-Afif. Pada suatu hari, penduduknya minta kepada Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif, seorang wali dan sholeh yang terkemuka, untuk memohonkan air hujan bagi penduduk desa Huraidzah. Kemudian mereka keluar menuju ke suatu kubur wali, kebetulan pada ketika itu al-Habib Umar masih gres di desa itu dan masih belum dikenal orang, sehingga penduduknya tidak memberitahu kepada ia untuk berdoa bersama dengan mereka dan merekapun tidak memberitahu kepada Syeikh Abdullah al-Afif tersebut ihwal eksistensi al-Habib Umar, hingga setelah mereka melaksanakan doa bersama untuk memohon air hujan, lalu terdapat pembicaraan sekitar eksistensi al-Habib Umar, maka Syeikh Abdullah berkata kepada mereka: “Mengapa kalian tidak memberitahukan saya ihwal eksistensi al-Habib Umar, mungkin doa kalian tidak akan diterima dan air hujan tidak akan turun”. Kemudian Syeikh Abdullah segera meninggalkan tempat itu, kemudian mendatangi Habib Umar untuk mohon maaf. Kata al-Habib Umar: “Wahai Syeikh Abdullah, desa ini ialah desa kalian dan saya di desa ini hanya orang asing yang gres datang”. Kata Syeikh Abdullah: “Bukan demikian wahai tuanku, bahkan desa ini ialah milikmu dan saya tidak mempunyai hak apapun setelah tuan ada di sini”.

Al-Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi berkata: “Memang, al-Habib Umar mempunyai relasi yang erat dengan Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif. Dan Syeikh Abdullah pernah berkata kepada beliau: “Memang, Huraidzah ialah desa kami, akan tetapi kami serahkan kepada kamu”. Disebutkan bahawa Syeikh Abdullah pernah minta pakaian (Libas) dari al-Habib Umar, maka kata beliau: “Besarnya rasa cintamu, hal itu sudah cukup”.

Dalam juz kedua di dalam buku Taajul A’raas disebutkan, bahwa al-Habib Ahmad bin Hassan al-Attas pernah menyebutkan ihwal kisah Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif: “Di desa Huraidzah, Syeikh Abdullah al-Afif mempunyai sebuah kebun kurma, ketika al-Habib Umar tiba di desa itu, maka Syeikh Abdullah bernazar untuk memperlihatkan kebun kurma itu kepada al-Habib Umar. Ketika hal itu diutarakan kepada al-Habib Umar, maka ia berkata kepada penduduk Huraidzah: “Wahai penduduk, bagaimanakah pendapat kalian ihwal nazar Syeikh Abdullah?” Jawab penduduk Huraidzah: “Menurut kami, nazar Syeikh Abdullah ialah benar”. Jawab Habib Umar: “Kalau begitu, tanah ini saya terima tetapi saya hadiahkan kembali bagi kalian semua sebagai nazar dari aku, maka terimalah tanah itu dari aku”. Ada seorang di antara mereka yang berkata kepada beliau: “Mengapakah engkau tidak memberikannya kepada keluargamu?” Kata al-Habib Umar: “Kelak anak cucuku akan memiliki desa ini semuanya”.

Guru-guru al-Habib Umar al-Attas

Beliau berguru dari orang-orang yang pernah berguru dari Sayyidina Syeikh Abu Bakar bin Salim, terutama dari putra-putranya, yaitu al-Habib Muhdhor bin Syeikh Abu Bakar, al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar dan al-Habib Hamid bin Syeikh Abu Bakar.

Al-Habib Umar juga pernah berguru dari Habib Muhammad bin Abdurrahman al-Hadi, dari Sayyid Umar bin Isa Barakwah as-Samarkandi al-Maghribi yang dimakamkan di desa al-Ghurfah. Demikian pula al-Habib Umar sering mengunjungi Syeikh al-Kabir Ahmad bin Shahal bin Ishaq al-Hainani. Selain itu, ia sangat erat hubungannya dan selalu mengunjungi Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syihab dan Syeikh Abdullah bin Ahmad al-Afif dan Syeikh Ahmad bin Abdul Kadir Ba’syin, Shahib Rubath. Beliau pun sering mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Balfaqih, Shahib Qaidun. Selain itu, ia gemar mengunjungi orang-orang soleh dari Ahlul Bait maupun dari keluarga al-Masyaikh dan orang-orang yang soleh.

Al-Habib Umar sangat mengagungkan dan menghormati guru ia yang berjulukan al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim. sampaipun, bila al-Habib Umar mendengar nama gurunya yang satu ini disebut orang, maka wajah ia berubah kerana mengagungkan gurunya yang satu ini, bahkan adakalanya al-Habib Umar bercakap-cakap dengan al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar di tengah satu majlis, sedangkan ucapan keduanya tidak dapat dimengertikan orang lain. Syeikh Ali bin Abdillah Baraas berkata: “Al-Habib Umar berkata, pada suatu hari saya mendatangi al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim dengan maksud untuk mudzakarah ihwal tariqah Tasawwuf, kebetulan ketika itu al-Habib Hussein sedang berada di tengah anggota majlis ta’limnya. Kemudian ia berkata: “Wahai Umar, seseorang yang tidak mengerti suatu isyarat, maka ia tidak akan dapat mengambil manfaat dari mirip yang terang dan siapa yang menjelaskan kata-kata yang sudah terperinci dengan kata-kata yang lebih jelas, ada kalanya dapat menambah pendengarannya makin bertambah bingung”. Selanjutnya al-Habib Umar berkata: “Timbul rasa takut di hatiku bahwa tutur kata guruku setela kata-kata itu sengaja ditujukan bagiku”.

Al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim sangat menghormati al-Habib Umar, bahkan ia lebih mengunggulkan al-Habib Umar dari saudara-saudaranya dan kawan-kawannya. Al-Habib Hussein tidak pernah berdiri untuk menghormati orang, mirip halnya untuk al-Habib Umar, hal itu tidak lain dikarenakan tingginya kedudukan Habib Umar.

Pada suatu hari al-Habib Umar bersama sekelompok para tokoh Alawiyin datang ke tempat al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, pada waktu itu al-Habib Umar merupakan satu-satunya orang yang paling merendahkan diri dan memakai pakaian yang paling sederhana, ditambah lagi kedua matanya tidak dapat melihat. Ketika al-Habib Hussein melihat al-Habib Umar berada di paling belakang rombongan itu, maka al-Habib Hussein berubah wajahnya, kemudian ia berkata kepada orang-orang yang terkemuka dari rombongan itu: “Sesungguhnya kalian hanya lebih mengutamakan penampilan lahiriah, dan kalian tidak mau memuliakan orang yang paling mulia menurut kedudukan yang sepantasnya, andaikata kalian tahu kemuliaan lelaki ini, yaitu al-Habib Umar, pasti kedudukan kalian tidak ada artinya, leher-leher kalian akan menunuduk dan ruh serta jasad kalian akan rindu kepadanya”. Kemudian ia menyebutkan keutamaan-keutamaan al-Habib Umar yang menyebabkan mereka berasa betapa kecilnya dirinya masing-masing”.

Silsilah isnad al-Habib Umar dalam mendapatkan hirqah

Al-Habib Umar mendapatkan selendang hirqah dari al-Habib Hussein bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, sedangkan ia menerimanya dari saudaranya yaitu Syeikh Umar al-Muhdhor, ia menerimanya dari ayah beliau, yaitu Syeikh Abu Bakar bin Salim, Shahib Ainat, ia menerimanya dari Syeikh Syihabudin Ahmad bin Abdurrahman, ia menerimanya dari ayah beliau, Syeikh Abdurrahman bin Ali, ia menerimanya dari ayahnya, Syeikh Ali bin Abu Bakar, ia menerimanya dari ayahnya, Syeikh Abu Bakar Sakran, ia menerimanya dari ayahnya, Syeikh al-Kabir Abdurrahman as-Seggaf, ia menerimanya dari ayahnya, yaitu Syeikh Muhammad Mauladawilah, ia menerimanya dai ayahnya, Syeikh Ali bin Alawi, ia menerimanya dari ayahnya, Syeikh Alwi bin Faqih al-Muqaddam, ia menerimanya dari ayahnya, al-Ustadzul A’dzam al-Faqih al-Muqaddam Sayyidina Muhammad bin Ali Ba’alawi.

Adapun sumber penisbatan al-Hirqah dan silsilah isnad bagi Syeikh al-Faqih al-Muqaddam berasal dua jalur, salah satu dari jalur ayah-ayah ia yaitu ia dididik dan menerimanya dari ayah beliau, Ali bin Muhammad dan dari paman beliau, Alawi bin Muhammad, keduanya mendapatkan dari ayahnya Muahmmad Shahib Mirbath, ia menerimanya dari ayahnya, Ali Khali’ Qasam, ia menerimanya dari ayahnya, Alawi Shahib Samal, ia menerimanya dari ayahnya, Ubaidillah, ia menerimanya dari ayahnya, al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa, ia menerimanya dari ayahnya, Isa an-Naqib, ia menerimanya dari ayahnya, Muhammad, ia menerimanya dari ayahnya, Ali al-Uraidhi, ia menerimanya dari ayahnya, al-Imam Ja’far as-Shoddiq, ia menerimanya dari ayahnya, al-Imam Muhammad al-Baqir, ia menerimanya dari ayahnya, Ali Zainal Abidin, ia menerimanya dari ayahnya, al-Imam al-Hussein dan dari pamannya al-Imam al-Hassan, keduanya mendapatkan dari kakeknya Nabi Muhammad SAW, juga dari ayahnya al-Imam Ali bin Abi Thalib sedangkan Nabi SAW menerimanya dari Tuhan mirip yang ia katakan:

“Aku dididik oleh Tuhanku dan ia mendidikku dengan sebaik-baik didikan”.

Adapun jalur kedua yang diterima oleh Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam Thoriqoh Syu’aibiyah yaitu lewat Syeikh Syu’aib Abu Madyan al-Maghribi dengan perantaraan Abdurrahman al-Muq’ad dan Abdullah as-Shaleh. Sedangkan Syeikh Syu’aib Abu Madyan menerimanya dari Syeikh Abu Ya’izza al-Maghrabi, ia menerimanya dari Syeikh Abul Hasan bin Herzihim atau yang dikenal dengan nama Abu Harazim, ia menerimanya dari Syeikh Abu Bakar bin Muhammad bin Abdillah bin Arabi dan al-Ghadi al-Mughafiri. Sedangkan bin al-Arabi menerimanya dari Syeikh Imam Hujjatul Islam al-Ghozali, ia menerimanya dari gurunya, yaitu Imam al-Haramain Abdul Malik bin Syeikh Abu Muhammad al-Juaini, ia menerimanya dari ayahnya, Abu Muhammad bin Abdullah bin Yusuf, ia menerimanya dari Syeikh Abu Thalib al-Makki, ia menerimanya dari Syeikh Syibli, ia menerimanya dari Syeikh al-Junaid, ia menerimanya dari pamannya, yaitu as-Sirri as-Siqthi, ia menerimanya dari Syeikh Ma’ruf al-Karkhi, ia menerimanya dari gurunya, Syeikh Daud at-Tho’i, ia menerimanya dari Syeikh Habib al-’Ajmi, ia menerimanya dari Imam Hasan al-Basri, ia menerimanya dai Imam Ali bin Abi Thalib, ia menerimanya dari Rasulullah SAW, ia menerimanya dari malaikat Jibril, dan ia menerimanya dari Tuhan Ta’ala.

Sanad penerimaan kalimat talqin bagi al-Habib Umar

Al-Habib Umar menerimanya talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammadar Rasulullah SAW dari Syeikh al-Arif Billah Assyarif Umar bin Isa Barakwah as-Samarqandi al-Maghrabi.

Syeikh Ahmad bin Abdul Qadir Ba’syin Shahib Rubath berkata: “Syeikh Umar Barakwah menuturkan kepada kita bahwa talqin dzikirnya cabangnya hingga kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, sedangkan Syeikh al-Qadir al-Jailani mendapatkan talqin dzikir dari empat ratus orang guru dan guru-guru ia sanadnya bersambung hingga dengan Sayyidina Hussein bin Ali bin Abi Thalib, semua andal talqin dzikir bersambung dengan Rasulullah SAW. Keadaannya sama dengan mata rantai yang terjalin erat antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga bila mata rantai yang ada paling bawah digerakkan, maka mata rantai yang ada di paling ataspun akan bergerak, demikian pula sebaliknya. Hal itu ialah disebabkan eratnya keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, sama halnya dengan keterkaitan nasab Ahlul Bait, satu sama lainnya saling terkait erat. Segala puji bagi Tuhan yang menjadikan mereka suri tauladan yang baik bagi kami dan keterkaitan kamipun dengan mereka masih erat”.

Al-Hakim meriwayatkan dari Saddad bin Aus, ia berkata: “Ketika kami berada di sisi Nabi SAW, maka ia bersabda:

“Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah “Laa ilaha Illallaah”. Setelah kami melakukannya, maka Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutus saya untuk memberikan dan mengikrarkan kalimat Tauhid ini dan Engkau akan memberi Syurga kepada seorang yang mengucapkannya dan Engkau tidak akan memungkiri janji. Selanjutnya ia bersabda: “Bergembiralah kalian karena Tuhan telah memberi ampun kepada kalian”.

Budi pekerti al-Habib Umar al-Attas

Al-Habib Umar al-Attas dikenal sebagai seorang Alim, Amil, Quthub, Ghauts, seorang tokoh sufi, suci, suka memenuhi janji, Murabbi, Rabbani, Da’i, suka mengajak orang ke jalan Tuhan dengan pandangan yang bersih dan budi pekerti yang luhur, ia himpun ilmu lahir dan batin. Beliau dikenal sebagai pelindung kaum fakir dan kaum janda serta bawah umur yatim. Beliau senantiasa menyambut dan menggembirakan orang-orang fakir, mereka dimuliakan dan didudukkan pada tempat yang mulia, sehingga mereka sangat mencintai beliau. Beliau dikenal baik oleh kalangan luas banyak sekali beristiqad dengan beliau, dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, ia amat tawadhu’ dan merendahkan dirinya karena merasa diawasi oleh Allah. Beliau selalu menyuruh orang untuk bersabar, khususnya bila cobaan dan bencana sedang menimpa. Beliau sangat bersabar untuk menjalankan acara ibadah.

Beliau al-Habib Umar tidak pernah tidur pada episode separuh terakhir di malam hari, ia pernah menghabiskan waktu malamnya untuk mengulang-ulang bacaan doa Qunut.

Beliau suka menyantuni orang-orang fakir dan para wanita yang tidak mampu. Beliau amat tabah dalam menghadapi banyak sekali krisis, ia tidak pernah menyombongkan diri kepada seorangpun, ia mau duduk di tempat mana saja tanpa membedakan tempat yang baik atau jelek dan ia tidak pernah menempatkan dirinya di tempat yang lebih tinggi atau tempat yang menonjol, kalau ia meninggalkan majlisnya karena ada hajat, maka ketika ia kembali ke tempat duduknya dan ia mendapati tempat duduknya telah diduduki orang lain, maka ia akan mencari tempat duduk lain. Beliau tidak pernah mendekati kaum penguasa.

Beliau senantiasa mengikut jejak perjalanan para sesepuh ia yang terdahulu, para tokoh Ba’alwi mirip perjalanan yang ditempuh oleh Sayidina al-Faqih al-Muqaddam Muhammad ibnu Ali Ba’alwi, Syeikh as-Seggaf, Alaidrus, Syeikh Abu Bakar ibnu Salim dan tokoh-tokoh lainnya. Thoriqah mereka lebih mengutamakan menutup diri, tawadhu’, tidak menuruti hawa nafsu, lemah lembut, tidak ingin dikenal apalagi menonjol diri, karena mereka merasa bahwa diri mereka tidak akan menjadi orang baik kecuali hanya dengan anugerah dan kemurahan Allah. Sifat ini tetap diikuti oleh anak cucu mereka, khususnya para wali yang mempunyai kedudukan, ilmu dan gemar berinfak kebajikan dan beribadah.

Pokoknya al-Habib Umar senantiasa mengikuti jejak para sesepuhnya yang sholeh, ia selalu mengikuti budi pekerti yang mulia mirip budi pekerti Nabi yang pernah disebutkan Tuhan dalam satu firmannya:

“Dan sesungguhnya engkau di atas budi pekerti yang agung”.

Jika ia meningkatkan frekuensi ibadahnya yang wajib dan sunnah, maka ia mengikuti apa yang disebutkan oleh Imam Ghazali di dalam Rub’ul Ibadat di dalam kitab Ihya’. Demikian pula, bila ia ingin mengikuti sunnah-sunnah dan memperbaiki niat dan motivasi, maka ia mengikuti apa yang diterangkan oleh Imam Ghazali di dalam Rub’ul Adat di dalam kitab Ihya’. Adapun bila ia ingin menjauhi budi pekerti dan tindak tanduk yang tidak baik, maka ia mengikuti apa yang diiterangkan oleh Imam Ghazali di dalam Rub’ul Muhlikat di dalam kitabnya Ihya’. Adapun bila ia ingin mengikuti sopan santun yang diridhai oleh Allah, maka ia akan mengikuti apa yang diterangkan oleh Imam Ghazali di dalam Rub’ul Munjiyat di dalam kitab Ihya’ dan mencari tambahan keterangan lain dari buku-buku lain.

Beliau senantiasa bergembira dan tersenyum kepada semua kalangan, baik terhadap bawah umur kecil maupun orang dewasa, hingga setiap orang merasa bahwa dirinya sebagai kaum kerabat beliau. Beliau senantiasa menyambut dengan baik semua orang menurut kebutuhannya masing-masing dan ia bersabar meskipun menghadapi banyak masalah dari mereka, semua orang disayangi dan disantuni oleh beliau, ia suka berwasiat untuk menyenangkan bawah umur kecil, kata beliau: “Kalau engkau tidak dapat menyenangkan anak kecil dengan memberi sesuatu, maka berikan kepada mereka meskipun sebuah kerikil kerikil berwarna merah, supaya mereka bergembira.”.

Beliau suka mengabulkan segala permintaan orang dan suka menanggung kesulitan orang dengan impian supaya dapat menyenangkan keluarga orang yang ditolongnya itu. Adakalanya ia memaksa diri untuk mendatangi rumah-rumah mereka, sehingga ada dari murid ia yang mengatakan kepada beliau, bahwa ia sudah udzur, karena sudah lanjut usia dan hal itu cukup memberatkan tetapi ia menjawabnya: “Sesungguhnya kami mendatangi rumah-rumah mereka, untuk manfa’at dan maslakhat mereka dan kami berharap dari Allah, supaya setiap rumah yang kami masuki Tuhan akan memberi ampun kepada penghuni rumah tersebut”.

Jika ada dua orang datang ke majlis al-Habib Umar, maka ia bertanya kepada keduanya, siapa di antaranya yang lebih tua, setelah diberitahukan kepada beliau, maka ia mempersilakan yang lebih renta duduk di sebelah kanan ia sedang yang lebih muda dipersilakan duduk di sebelah kiri ia supaya ia dapat menghormati munurut usianya masing-masing, selanjutnya keduanya disenangkan dan digembirakan dengan kegembiraan yang luar biasa, kemudian ia berbicara dengan keduanya menurut kemampuan berfikir mereka masing-masing. Akhlak ia yang mirip itu menyebabkan semua orang terpesona kepada ia dan budi pekerti ia sering disebut orang.

Al-Habib Umar sering mengunjungi Wadi Amed dan al-Qasar untuk mengajak penduduknya ke jalan Tuhan dan untuk mempersatukan orang-orang yang bersengketa di antara mereka. Untuk kepentingan yang satu ini, ia banyak mengorbankan hartanya dan tenaganya. Dan sangat bersabar kepada mereka yang berwatak keras, ia hampir saja tidak pernah marah, kecuali larangan Tuhan diremehkan oleh seseorang, bila hal itu terjadi, maka ia amat marah, hingga dapat dilihat dari wajah beliau.

Al-Habib Umar senantiasa menganjurkan insan untuk rajin mengerjakan amal-amal ibadah dan menghadiri sholat Jum’at dan Jama’ah, ia selalu menganjurkan perbuatan baik dan melarang perbuatan mungkar. Beliau tidak mau masuk ke dalam rumah yang pemiliknya suka berbuat kemungkaran dan tidak mau menghadiri undangan mereka, hingga mereka mau berubah kebiasaan mereka.

Al-Habib Umar sering mengunjungi Wadi Dou’an, kebiasaan itu ia lakukan semenjak awal dan ia tidak pernah meninggalkan kebiasaan itu kecuali di selesai hayatnya. Beliau pernah mengunjungi Wadi Dou’an berangkat dari al-Lisk dengan mengenderai unta dan dengan disertai al-Faqih Ahmad ibnu Muhammad Bajamal al-Asbuhi. Dalam satu kunjungannya ke Wadi Dou’an ia pernah mengunjungi Syeikh Ahmad ibnu Ali ibnu Nu’man al-Hajrain di desa Hajrain, maka Syeikh Ahmad ikut bersama ia menuju Qaidun untuk berziarah ke makam Syeikh Sa’id ibnu Isa Alamudi.

Dikarenakan banyaknya berpergian dan perjalanan yang ditempuh oleh al-Habib Umar al-Attas untuk berdakwah dan untuk mendamaikan orang, maka ia berkata: “Sesungguhnya saya di dunia ialah seorang yang asing, maka tidak diwajibkan atasku melaksanakan sholat Jum’at di suatu desa pun. Beliau lebih suka mengenderai keledai di sebagian besar waktunya dan di dalam perjalanannya di tengah hari yang amat panas. Di setiap perjalanannya, ia selalu membawa kitab ar-Risalah karya Imam al-Qusyairi di satu tangan, sedang di tangan yang lain memegang kitab Al ‘awarifu Al Maarif maupun kitab-kitab yang semacamnya merupakan benteng bagi para tokoh Sufi”.

Al-Habib Umar selalu menghabiskan waktunya untuk muzakarah segala cabang ilmu pengetahuan, untuk keperluan yang satu ini, ia suka menghabiskan waktu satu malam penuh. Adakalanya tiba waktu fajar, sedangkan ia masih menunjukan banyak sekali macam hakikat ketuhanan (Hakaik) kepada murid-murid beliau. Pokoknya tidak satu waktupun ia lewatkan, kecuali ia lewatkan dengan ibadah dan menimba ilmu atau mendengar suatu bacaan. Biasanya bila ada sekelompok orang duduk di malam hari bersama beliau, maka ia melayani mereka, hingga ketika mereka bubar, maka ia berkata kepada Syeikh Ali Baras: “Wahai Ali, apakah masih ada orang lain selain kita?”. Jika dijawab tidak, maka ia berkata: “Ambilkan kitab itu, untuk kita baca bersama”.

Al-Habib Umar tidak pernah mengkhususkan membaca atau mengajar suatu kitab tertentu. Al-Habib Hussein bin Umar al-Attas berkata: “Pada suatu hari, saya pergi bersama ayahku, tanganku yang satu memegang tali kendali kenderaan beliau, sedangkan tanganku yang satu memegang sebuah kitab, sedangkan ia memberikan kepada kita banyak sekali cabang ilmu lewat mulut beliau, hal itu bagaikan sebuah air yang mengalir dengan derasnya. Ketika kami katakan kepada beliau: “Mengapa engkau tidak izinkan kami membaca atau berguru sebuah kitab kepadamu?” Maka ia berkata: “Terimalah sesukamu ilmu yang sedang mengalir dari satu wadah, meskipun tanpa sebuah kitab”. Beliau berkata kepada seorang guru: “Ajarkan anak-anakku untuk membaca kitab karya tulis Syeikh Abu Amru”.

Al-Habib Umar sangat peduli untuk mengajari saudara-saudaranya yang masih kecil yang ditinggal wafat oleh ayahnya. Di muka telah kami terangkan bahawa al-Habib Umar sangat peduli untuk mengajar dan mendidik saudara-saudaranya yang masih kecil, terutama untuk memahami al-Quran. Beliau menganjurkan mereka untuk gemar mencari ilmu dan menyuruh guru saudara-saudaranya untuk memukul mereka, bila mereka tidak memperhatikan pelajarannya. Bahkan ia sendiri pernah memukul saudaranya dengan tangannya sendiri, hingga ia berhasil membaca al-Quran dengan baik. Beliau pernah mengirim saudara ia al-Habib Aqil ke Hajrain untuk berguru dari Syeikh Muhammad ibnu Umar al-Afif, hingga akhirnya al-Habib Aqil bisa mengajar setelah ia kembali ke desa Huraidzah. Setiap hari al-Habib Umar menghadiri majlis ta’lim al-Habib Aqil sekembalinya dari menziarahi kubur ayahnya.

Ketika al-Faqih Syeikh Abdul Kabir ibnu Abdul Kabir Baqais mengunjungi ia yang ketika itu ia masih dalam usia belajar, maka ia berkata: “Hai, Abdul Kabir nama telah dihidupi, maka hidupkanlah ilmu”. Ucapan ia menyuruh Abdul Kabir untuk rajin menuntut ilmu. Dengan tawaran beliau, maka Abdul Kabir berhasil menimba ilmu sebanyak-banyaknya hingga ia disebut al-Faqih. Al-Habib Umar pernah memberitahukan akan lahirnya Syeikh Abdul Kabir yang ketika itu masih di dalam kandungan ibunya, sedang ayahnya meninggal dunia. Ketika keluarganya akan membagi harta waris ayahnya, di ketika itu al-Habib Umar berkata: “Sesungguhnya janin yang ada di dalam kandungan ibunya ini ialah anak laki-laki, maka simpanlah bagiannya dari harta warisannya”. Ternyata apa yang dikatakan oleh al-Habib Umar ialah benar.

Al-Habib Umar telah memberi instruksi kepada salah seorang pengikutnya, Muhammad ibnu Hishn al-Huraidzi untuk berguru membaca al-Quran meskipun usianya telah lanjut, karena sudah mendapat barokah dari Habib Umar, maka ia diberi fasilitas oleh Allah. Ada seseorang bila menghadiri majlis ta’limnya al-Habib Umar al-Attas, maka ia banyak berbicara, sehingga majlis ia terganggu, anehnya bila diadakan pembacaan suatu kitab, maka orang itu mengantuk hingga tidur. Karena itu, bila orang itu hadir, maka al-Habib Umar berkata kepada kawan-kawannya: “Ambilkan kitab dan mari kita membaca kitab itu, supaya orang itu membisu karena mengantuk”.

Al-Habib Umar pernah menyuruh untuk mengeluarkan zakat kurma (Rutob) sebelum kurma itu menjadi kering. Ketika dikatakan bahwa sebagian ulama mengatakan bahawa tidak sah mengeluarkan zakatnya kurma sebelum kurma itu menjadi kering, maka al-Habib Umar berkata: Mereka itu ulama dan kami pun ulama, tanyakanlah kepada orang-orang miskin, kurma yang masih berair ataukah kurma yang sudah kering yang mereka sukai”. Setelah dijawab, bahwa yang mereka sukai ialah kurma yang masih basah, maka pendapat al-Habib Umar diterima oleh mereka dan dilaksanakan oleh seluruh penduduk desa itu.

Al-Habib Ali ibnu Hussein al-Attas menyebutkan dalam kitabnya Taajul A’raas juz 1 hal 708, bahwa al-Habib Umar ibnu Abdurrahman al-Attas telah berbeda pendapat dengan andal Fiqih dalam tiga masalah. Pertama al-Habib Umar berpendapat untuk menaruh mayit di ujung kepala liang lahad dan bila mayit sedang diturunkan ke liang lahad hendaknya kedua kakinya diturunkan lebih dahulu. Kedua, al-Habib Umar berpendapat bahwa seseorang tidak harus berniat ketika ia menjadikan tangannya sebagai wadah untuk mengambil air hendak berwudhu (niat Ightiraf) meskipun menurut pendapat andal Fiqih, orang itu diharuskan berniat kalau tidak maka airnya menjadi musta’mal. Adapun yang dipakai alasan oleh al-Habib Umar, seorang yang mengambil air ketika hendak berwudhu, maka ia tidak mencuci tangannya ke dalam tempat air, kerana itu tidak perlu berniat. Ketiga, al-Habib Umar berpendapat bahawa seseorang dibolehkan mengeluarkan zakatnya kurma ketika buah kurma itu masih berair (rutob), meskipun para ulama tidak membolehkan cara yang demikian itu, alasannya Habib Umar ialah buah kurma yang masih berair lebih disenangi orang-orang miskin, daripada buah kurma yang sudah kering.

Disebutkan juga al-Habib Umar menganjurkan orang melaksanakan solat Ghaib setelah selesai mengerjakan solat Jum’at. Adapun waktunya ialah setelah imam menutup sholatnya dengan salam dan setelah berzikir, maka diumumkan untuk melaksanakan solat Ghaib bagi mereka yang telah meninggal dari segenap umat Islam. Tradisi macam ini tetap dilakukan penduduk desa Huraidzah dan desa-desa lainnya yang pernah mendengar fatwa al-Habib Umar.

Al-Habib Umar suka mendengar qasidahnya al-Habib Abdullah ibnu Alwi al-Haddad, yang awal mula baitnya adalah:

Jika qasidah ini dikumandangkan oleh seseorang di depan Habib Umar, maka ia suka menyuruh orang itu untuk mengulanginya, karena ia sangat menyayangi dan merasa kagum qasidah itu. Setelah al-Habib Umar wafat, maka al-Habib Abdullah ibnu Alwi al-Haddad menyuruh seseorang untuk berziarah ke makam al-Habib Umar dan menyuruhnya untuk membacakan qasidah yang disebutkan di atas tadi di sisi kubur al-Habib Umar. Ketika orang itu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh al-Habib Abdullah ibnu Alwi al-Haddad, maka ia tertidur sejenak, maka tahu-tahu terdapat sepotong roti yang masih hangat di pangkuannya. Ketka ia terbangun ia terkejut dengan adanya dua potong roti dihadapnya, setelah diperiksa di sekelilingnya, ternyata tidak ada seorangpun yang ada didekatnya, sehingga ia yakin bahawa dua potong roti itu ialah karomah dari al-Habib Umar sebagai petanda bahawa qasidah yang dibacanya telah didengar oleh al-Habib Umar dan ziarahnya terkabul. Maka yang sepotong dimakan sedangkan yang sepotong lagi dibagikan kepada anak-anaknya.

Al-Habib Umar dan guru beliau, al-Habib Hussein ibnu Syeikh Abu Bakar ibnu Salim melarang orang untuk menghisap rokok dan mengharamkannya.

Al-Habib Umar suka menyuruh orang untuk memperbaiki cara pengairan sawah ladang. Beliau amat senang dengan orang-orang yang suka mengairi sawah ladangnya dan ia selalu mendoakan kebajikan bagi mereka, tetapi ia tidak senang terhadap orang-orang yang malas mengairi sawah ladangnya.

Al-Habib Umar selalu menganjurkan orang untuk rajin menanam pohon kurma. Di desa Andal dan al-Qasar banyak menghasilkan buah kurma. dikarenakan seringnya al-Habib Umar menganjurkan orang untuk menanamnya. Biasanya ia berpesan untuk memberi jarak sepuluh langkah atau lima belas langkah antara satu pohon kurma dengan lainnya.

Banyak hadiah-hadiah yang mengalir kepada al-Habib Umar, tetapi ia tidak mau menerimanya, kecuali hanya sebagian kecil daripadanya. Bahkan bila ada seseorang yang nadzar memberi pohon kurma kepada beliau, maka ia ada kalanya menolaknya. Beliau tidak mau mendapatkan pemberian seorang penguasapun, kalau ada seorang penguasa memberi hadiah atau bingkisan kepada ia atau yang ada hubungannya dengan penguasa, maka ia selalu menolaknya dengan cara yang manis dan halus.

Al-Habib Umar selalu pasrah dan ridho terhadap apa saja yang dikehendaki oleh Allah. Al-Habib Umar selalu sederhana dalam cara berpakaiannya, makan minumnya dan tempat tinggalnya. Beliau suka memakai pakaian yang bergairah berwarna putih, hasil tenunan dalam negeri, bukan buatan dari India. Beliau tidak pernah memakai pakaian yang berwarna hitam, selain ketika putera ia wafat, tetapi ia mengenakan juga pakaian putih dan berwarna merah untuk menampakkan ia tidak susah atas kematian putranya. Ketika ditanyakan, mengapa ia berpakaian demikian, maka ia berkata: “Sesungguhnya syaitan menyuruh kami untuk menampakkan rasa susah, tetapi kami menolaknya supaya ia menjadi kecewa”.

Biasanya bila al-Habib Umar diberi hadiah sehelai kain halus berwarna putih, maka ia memakainya sebagai ganjal duduk di atas kenderaannya hingga kain itu tampak rusak. Biasanya bila ia diberi hadiah sehelai baju terlalu panjang episode tangannya, maka ia memotongnya hingga sebatas telapak tangan. Hal itu ialah dikarenakan ia menggandakan jejak hidup Imam Ali ibnu Abi Thalib yang selalu memotong episode tangannya hingga batas telapak tangan.

Jika al-Habib Umar hendak membangun rumah, maka ia menyuruh arsiteknya untuk membangunkan kamar mandi di episode depan rumahnya supaya orang-orang yang melihatnya akan mengerti, betapa hinanya kehidupan dunia yang selalu mereka rebutkan itu. ketika arkiteknya telah selesai membangun tembok rumah beliau, maka ia dipersilakan masuk ke dalam bangunan itu. Setelah ia mengukur tinggi bangunannya dirasa telah cukup, maka ia menyuruhnya untuk membangun atapnya. Letak rumah ia di episode atas desa. Ketika penduduk desa Huraidzah minta pertimbangan beliau, di manakah rumah ia harus dibangun, maka ia menyuruh mereka untuk membangun rumahnya di episode atas desa itu di bersahabat rumah Syeikh Salamah ibnu Ali Basahil. Sebab ia amat erat hubungannya dengan Syeikh Salamah yang dikenal sebagai wali yang wara’, andal ibadah dan amat bersahabat hubungannya dengan al-Habib Umar, sehingga al-Habib Umar sering mengunjunginya. Kata al-Habib Umar: “Andaikata saya tidak takut kebakaran, pasti saya lebih senang di sebuah gubug”.

Beliau tidak terlalu memperhatikan masalah makanannya, ia mau makan apa saja yang didapatnya dengan mudah, tidak jarang ia menahan lapar bila tidak ada rezeki yang dimakannya. Disebutkan bahwa pada suatu malam isteri Hussein menantu ia tidak menyediakan makan malam bagi al-Habib Umar, karena ia menerka bahwa al-Habib Umar sudah makan malam di rumah Salim, puteranya. Demikian juga isteri Salim tidak menyiapkan makan malam bagi al-Habib Umar, karena ia menerka bahwa al-Habib Umar telah makan di rumah Hussein. Kebetulan malam itu pembantunya keluar dengan membawa sepotong roti untuk makan sapinya, maka ia mengambil sebagian seraya berkata: “Ini ialah makan malamku”. Al-Habib Umar hanya berkata: “Kurma dan mentimun yang halal lebih baik dari bubur kambing (harisah) yang subhat”.

Pada suatu hari ketika ia berkunjung ke Wadi ‘Amed, maka ia singgah di rumah salah seorang pengikutnya yang ada di desa itu. Penduduk desa itu senang mendapatkan kehadiran al-Habib Umar, sehingga mereka membikin bubur asidah bagi beliau. Ketika penduduk desa itu masih sibuk membuat bubur asidah, salah seorang puteri dari mereka datang dengan membawa sepiring makanan bagi beliau, ia hanya menyuapnya sedikit. Tidak lama setelah bubur asidah yang dipersiapkan penduduk desa itu telah selesai, maka mereka menghidangkannya ke hadapan al-Habib Umar, tetapi ia tidak menyuapkan sedikitpun dari bubur asidah itu, sehingga mereka minta ia untuk mencicipinya, tetapi ia menolaknya dengan halus, seraya berkata: “Ada seorang puteri telah membawakan makanan buah bidara cina bagiku, saya telah memakannya sedikit dan hal itu saya telah rasa cukup”. Kisah ini merupakan salah satu bukti dari kesederhanaan al-Habib Umar dalam hal makanan.

Sifat postur badan al-Habib Umar al-Attas

Al-Habib Ali ibnu Hassan al-Attas pernah menyebutkan dari al-Habib Abu Bakar ibnu Muhammad Bafaqih, Shahib Qoidun, ihwal sifat diri al-Habib Umar sebagai berikut: “Tubuh al-Habib Umar berperawakan sedang, wajahnya tampan, janggutnya lebar, bila seorang melihat beliau, maka akan melihat kewibawaan ia dan tercium basi harum dari beliau”.

Al-Habib Umar gemar memakai parfum. Kata beliau: “Dari besarnya kesukaannya kepada parfum, maka saya ingin dihadirkan sebuah ember yang berisi parfum, kemudian saya akan memakainya semua”. Dikarenakan besarnya kegemaran ia mamakai parfum, maka keringat ia tercium basi harum.

Pada lambung kiri al-Habib Umar ada warna hitam sebentuk cincin.

Al-Habib Umar sebagai seorang Syeikh dan Murabbi

Al-Habib Umar ialah seorang Syeikh, seorang murabbi dan seorang da’i kepada Tuhan di dalam tindak-tanduknya dan tutur katanya. Al-Habib Umar pernah berkata: “Ketika saya ditawari menjadi seorang da’i, maka saya menolaknya dengan banyak sekali alasan”. Kemudian dikatakan kepadaku: “Kami akan menjadikan bagimu seorang pendamping dan membantu yang akan mendampingimu untuk menunaikan tugasmu”, seraya menunjuk kepada Syeikh Ali Baras. Maka saya mendapatkan peran itu dan Syeikh Ali Baras akan membantuku dan mendukungku”.

Al-Habib Umar berkata: “Sesungguhnya sumber-sumber untuk mendapatkan cahaya Tuhan tidak berkurang sedikitpun bagi generasi yang ada di selesai masa, akan tetapi mereka datang membawa bejana-bejana yang berlubang”.

Pada awal mulanya, Syeikh Ali Baras sibuk membantu al-Habib Umar dalam memberikan dakwahnya. Pada suatu hari ketika Syeikh Ali Baras duduk di sisi al-Habib Umar, maka ia bertanya kepadanya: “Buku apa yang ada padamu?” kata Syeikh Ali Baras: “Buku yang ada di tanganku ialah Bidayatul Hidayah”. Kata al-Habib Umar: “Bacalah buku itu”. Maka Syeikh Ali Baras membaca dengan khutbahnya. Selanjutnya, al-Habib Umar berkata kepada Syeikh Ali Baras: “Berhentilah hingga di situ, saya telah memberimu ijazah di bidang Syari’at, Tareqat dan Hakekat, ini ialah ijazah yang diberikan bertepatan pada ketika terkabulnya semua do’a”.

Habib Isa ibnu Muhammad al-Habsyi berkata: “Biasanya bila ada seorang datang dengan niat yang baik kepada al-Habib Umar, maka ia akan mendapatkan segala pengaduannya serta menghormatnya dengan menampakkan keramatnya, sifat-sifat mulia mirip ini yaitu niat yang baik dan keyakinan yang berpengaruh jarang dimiliki oleh tamu-tamu yang lain dan kekeramatan ia jarang dilihat orang kecuali seorang yang benar-benar ta’at, bagus niatnya dan berpengaruh aqidahnya”.

Syeikh Ali Baras pernah berkata kepada al-Habib Umar: “Meskipun engkau sering mengunjungi Wadi ‘Amed dan desa-desa lainnya, tetapi anehnya tidak banyak yang mendapat petunjuk dengan bekerjsama dari engkau, padahal saya yakin bahawa bila seorang fakir bertemu dengan engkau pasti ia akan menjadi muslim”. Jawab al-Habib Umar: “Andaikata saya bertemu dengan seorang yang hatinya mirip engkau, tentunya saya dapat memberikan ia kepada Tuhan di dalam waktu yang paling singkat, akan tetapi saya mendapati orang-orang yang hanya membicarakan: “Habib akan pergi, habib akan datang”. Dengan kata lain tidak mempunyai persiapan dan keyakinan kepada beliau”.

Disebutkan bahwa pada suatu hari ada seorang murid datang kepada ia dengan niat untuk memohon keputusan dari beliau. Sebelum murid itu memberikan kepada ia apa yang yang ada di hatinya, maka dengan cara kasyaf ia menjawab apa yang akan ditanyakan oleh murid tersebut: “Wahai orang yang kebanyakan insan meninggalkan apa yang semestinya harus ia lakukan, tidak seorangpun yang datang kepadaku kecuali ingin menanyakan ihwal masalah-masalah duniawi mirip meminta hujan, menginginkan anak atau meminta pendapat, padahal setiap murid yang datang kepadaku dengan niat yang baik untuk mendapatkan masalah-masalah yang mulia, pasti ia akan mendapatkan kebajikan yang ia inginkan”.

Ada seorang sholeh dari penduduk sebuah desa Hadzyah yang berjulukan Ahmad ibnu Abdillah Bajusair, ia seorang guru ngaji bagi bawah umur kecil. Biasanya bila penduduk desa Syibam berziarah ke tempat al-Habib Umar al-Attas, maka mereka singgah di desa Hadzyah dan akan melewati rumah guru ngaji ini, demikian pula bila mereka pulang dari tempat beliau. Pada suatu kali, guru itu berkata kepada salah seorang yang didekatnya: “Aku lihat penduduk Syibam yang pergi ke tempat al-Habib Umar dalam keadaan wajah tertentu, dan mereka pulang dengan wajah yang berlainan dari wajah yang sebelumnya. Mengapa demikian?” Ketika ucapan guru ngaji itu disampaikan kepada al-Habib Umar, maka ia berkata: “Katakanlah kepadanya, adakalanya insan tugasnya sebagai guru ngaji mirip kamu, adakalanya seorang pendidik, apakah dia tidak mengerti bahwa saya mirip buaya, telurnya di darat dan ia tetap berada di laut dan memelihara telurnya cukup dengan pandangan”.

Al-Habib Ahmad ibnu Hasyim al-Habsyi berkata: “Dulunya saya dan as-Sayid Abdullah al-Haddad sering berkunjung kepada al-Habib Umar al-Attas, tidak lama, maka al-Habib Abdullah mendapat pancaran Ilahi (Futuh) sebelum saya mendapatkannya, sehingga minatku kepada ia berkurang. Ketika saya adukan keadaanku kepada Habib Umar, maka ia menghadap kepadaku dan mendo’akanku untuk mendapatkan mirip yang didapati al-Habib Abdullah al-Haddad. Maka semenjak ketika itu akupun mendapat pancaran Ilahi.

Al-Habib Abdurrahman ibnu al-Habib Umar al-Attas berkata: “Ketika saya keluar dari desa Ahrum, maka saya bertemu dengan seorang Darwisy yang sedang mengembara. Waktu itu ia hendak menyeberang jalan. Ketika saya memberi salam kepadanya, maka ia berkata, selamat datang wahai fulan. Ia menyebut namaku dan ia menunjukkan kegembiraannya bersamaku meskipun saya belum pernah bertemu dengannya pada waktu sebelumnya. Aku bertanya kepadanya, bagaimana engkau tahu namaku, padahal engkau belum pernah berkenalan denganku?” Jawab orang itu: “Bagaimana saya tidak mengenalmu, pada hal engkau ialah putera guru kami, al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas. Sesungguhnya ayahmu sering datang ke negeri kami secara ghaib dan nama ia lebih dikenal di tempat kami daripada di tempat kamu”.

Habib Ahmad ibnu Hussein ibnu Umar berkata: “Aku pernah diberitahu oleh seorang yang saya tidak ragu akan kejujurannya bahwa ia pernah bertemu dengan seorang Darwisy dari negeri Sind di Afrika yang berkata: “Sesungguhnya al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas sering berkunjung ke negeri kami di Sind untuk mengajari kami Tasawwuf dan ilmu Tareqat dan ia banyak dikenal di negeri kami”.

Syeikh Abdullah ibnu Abdurrahman Ba’ubad menuturkan bahwa ketika ia bersama Syeikh Ali Baras dan tiga belas orang sahabatnya datang ke tempat al-Habib Umar, maka yang pertama saya lihat ialah sinar wajah ia yang amat cemerlang, sehingga saya tidak ingat lagi akan kehadiranku, karena saya lihat diri ia bagaikan mutiara yang berwarna putih cemerlang, dan wajah ia memancarkan sinar yang terang, maka timbul keinginanku untuk tidak akan berpisah dari ia sepanjang hidupku. Kami sempat menetap di tempat ia selama beberapa hari. Ketika ia memberi izin kami untuk pulang ke desa kami, maka ia berkata kepadaku: “Wahai puteraku, tempat dan sumber mata air serta perjalanan hanya ada satu macam, barang siapa yang ingin memisahkan antara saya dari Syeikh Ali Baras, maka ia tidak akan mendapat untung”.

Al-Habib Abdullah ibnu Alwi al-Haddad berkata: “Ketika saya mengunjungi al-Habib Umar al-Attas, maka saya lihat pada diri beliau, adanya sifat-sifat yang terdapat pada para sesepuh ia hingga pada diri Nabi SAW”.

Habib Isa ibnu Muhammad al-Habsyi dan para arif billah lainnya, banyak menuturkan bahwa keadaan pribadi al-Habib Umar al-Attas dan tindak lanjutnya jauh berbeda dengan para tokoh wali lainnya. Meskipun keadaan dan kedudukan ia sangat tinggi, namun ia lebih senang untuk rendah diri, lemah lembut, ramah tamah kepada semua orang dan sopan santun yang sangat tinggi di mana sangat sedikit sekali orang berakhlak mirip beliau.

Ketika menyebutkan sifat al-Habib Umar, Habib Ahmad ibnu Zein al-Habsyi berkata: “Banyak orang dari kawan-kawan ia yang mendapatkan kebajikan dari al-Habib Umar, banyak orang yang menjadi murid ia dan banyak pula yang mendapatkan talkin dzikir dan mendapatkan khirqoh dari beliau”.

Kitab-kitab yang dipesankan oleh Habib Umar al-Attas untuk dipelajari

+ Az Zubad karya tulis Syeikh Ibnu Ruslan. Habib Umar selalu menyuruh bawah umur kita untuk menghafal nadzom kitab Zubad.
+ Bidaayatul Hidaayah karya tulis Imam Ghozali. Syeikh Ali Baras pernah membaca mukadimah kitab Bidaayatul Hidaayah di hadapan Habib Umar, kemudian ia memberi ijazah bagi Syeikh Ali Baras sehingga Tuhan membuka cabang-cabang ma’rifat baginya.
+ Al Minhaaj karya tulis Imam Nawawi. Syeikh Abdullah ibnu Umar Ba’ubaid berkata: “Ketika saya berkunjung ke tempat Habib Umar, ia berkata kepadaku: “Aku pernah membaca kitab al-Irsyad, karya tulis Syeikh Ismail al-Muqri”. Maka ia berkata kepada Syeikh Ali Baras: “Wahai Ali, bacakan kepadanya kitab al-Minhaaj, karya tulis Imam Nawawi dan bacakan juga kitab itu kepada kawan-kawanmu, karena kitab tersebut membawa berkat dan memberi futuh, Insya-Allah, karena penyusunnya seorang Wali Qutub dan ia berdo’a bagi setiap pembacanya, semoga diberi barokah”.
+ Ar Risalah karya tulis Imam Qusyairi dan Awarifu al-Ma’arif karya tulis Imam al-Saharwurdi. Al-Habib Umar al-Attas selalu membaca kedua kitab itu ke mana saja ia pergi. Kata beliau: “Ar Risalah dan al-Awarif dan kitab-kitab sepertinya sangat penting untuk dibaca, karena keduanya termasuk pemasok santapan rohani bagi para andal Tasawwuf”.

Kewara’ an al-Habib Umar al-Attas

Beliau dikenal sangat wara’. Beliau tak mau pernah mendapatkan pemberian apapun dari kaum penguasa, tidak pernah mau diajak makan minum, hingga pun sekedar minum kopi bersama kaum penguasa, bahkan ia menolak arang bakar yang datangnya dari kaum penguasa. Kisah penolakkannya terhadap pemberian Sultan Badar ibnu Abdillah al-Katsiri ketika datang mengunjungi beliau, kelak akan saya sebutkan dalam fasal tersendiri.

Beliau tidak mau makan dari pemberian orang-orang yang berbisnis dengan cara riba’.

Pada suatu kunjungan ia di Wadi Amed, maka ia dipersilakan singgah di rumah seorang dari keluarga Basulaib, sedangkan mereka tidak mau memperlihatkan episode waris bagi bawah umur perempuan, maka ia menolak untuk singgah dan ia berkata: “Bagaimana saya akan singgah di rumah seorang yang tidak mau memperlihatkan waris bagi bawah umur perempuannya? Padahal Tuhan menyuruh memberikannya dalam al-Quran, Tuhan berfirman:

“Allah mensyari’atkan bagimu ihwal pembagian waris untuk anak-anakmu, yaitu episode seorang anak lelaki sama dengan episode dua anak perempuan”.

Kata lelaki itu: “Mulai dari ketika ini, saya akan memperlihatkan waris bagi bawah umur perempuanku”.

Maka Habib Umar mau singgah di rumah orang itu dan ia berdo’a bagi keluarga orang itu, sehingga mereka diberi barokah dan kebahagiaan hidup”.

Pada suatu kali ketika ia berkunjung ke rumah seorang dari keluarga Basuwaid yang ada di desa Anaq. Maka ia disambut dengan sambutan yang luar biasa, dan ia diberi labu. Beliau bertanya: “Dari mana engkau peroleh buah labu ini?” Jawab orang itu: “Aku memetiknya dari sebuah kebun milik wakaf”. Katanya beliau: “Kalau begitu, kita tidak diperbolehkan makan dari kebun yang telah diwakafkan, karena kebun yang telah diwakafkan itu ialah milik semua orang Islam”. Kata orang itu: “Mulai sekarang saya tak mau lagi makan dari hasil kebun yang telah diwakafkan, lalu bagaimana hasil-hasilnya yang telah saya makan di masa-masa sebelumnya?” Kata Habib Umar: “Untuk menebus dosanya yang lalu, maka rawatlah kebun itu, kemudian bagikan hasilnya bagi kaum muslimin”. Maka semenjak ketika itu, kebun yang telah diwakafkan itu mulai sebaik mungkin”.

Habib Umar tidak mau mendapatkan harta wasiat dari seorang kecuali bila ia telah memperjelaskan benar-benar ihwal ridhanya andal warisnya. Pada suatu kali ada seorang wanita yang mewasiatkan sebagian dari perhiasannya senilai tiga Uqiyah. Ketika wanita pemilik harta itu wafat, maka harta yang diwasiatkan itu diberikan kepada beliau, tetapi ia tidak mau menerimanya hingga setelah memperjelas ridha andal warisnya ihwal harta wasiat itu”.

Disebutkan oleh Syeikh Ali ibnu Salim al-Junaid, bahwa ayahnya yang berjulukan Salim pernah meminjam seekor keledai buat kenderaan bagi perjalanan habib Umar yang akan pergi ke desa Lahrum. Anehnya, sesampai di tengah perjalanan, keledai itu berhenti dan duduk di padang pasir, padahal waktu itu udaranya amat panas. Kata Syeikh Salim: “Hampir saya pukul keledai ini, tetapi ia melarangku seraya berkata bahwa pemilik keldai ini tidak mau keledainya dipukul”. Kemudian ia berkata: “Peganglah kepalanya dan saya akan membantumu, supaya ia berjalan”. Demikian pula ketika keledai itu mogok kembali, maka Salim hendak memukulnya, tetapi ia menolaknya, dan ia membantunya supaya ia mau berjalan”.

Rasa tawadhu’ al-Habib Umar al-Attas

Al-Habib Abdullah ibnu Alawi al-Haddad berkata: “Itu orang (al-Habib Umar) yang pepohonnya ditanam atas dasar tawadhu’ dan lemah lembut, sehingga tangkai-tangkainya mirip itu juga”. Hal itu menunjukkan kedua sifat budi pekerti beliau.

Al-Habib Abdullah ibnu Alawi al-Haddad berkata: “Ketika kami berkunjung ke desa Huraidzah ke tempat Habib Umar, kami melihat Habib Umar bersikap amat tawadhu’, tidak seorangpun dari orang-orang besar yang dapat mengikuti perangai ia mirip itu. Begitu tawadhu’nya perangai beliau, meskipun tingginya kedudukan beliau, hingga ia tidak dapat dibedakan dengan kawan-kawan duduknya yang lain. Di tengah majlisnya, ia tidak duduk di tempat yang khusus, tidak pakai pakaian khusus, sehingga ia tidak berbeda dengan kawan-kawan duduk yang lain. Bila bangun karena ada hajat dan tempat duduknya ditempati orang lain, ia tidak marah dan tidak menyuruh orang itu untuk pindah, bahkan ia duduk di tempat lain, hingga saya pernah berkata: “Alangkah tidak sopannya kalian terhadap Imam ini”.

Pada suatu kali, penduduk Syibam berebutan untuk berjabat tangan dengan beliau, ada seorang yang ketika itu melihat kesederhanaan pakaian Habib Umar dan ketawadhu’annya, maka ia berkata: “Seorang yang mirip ini, kami di Tarim tidak mengajak berjabat tangan dengannya”. Ketika ucapan itu didengar oleh Habib Umar, maka ia berkata: “Memang pantas ucapannya itu, karena yang ada di Tarim hanyalah orang-orang yang wajah-wajahnya bagaikan bulan”. Beliau mengulang-ulang berkali-kali.

Pada suatu hari ketika orang-orang datang ke tempat Habib Umar untuk mengucapkan selamat atas lahirnya seorang anak beliau, sedangkan dari penduduk kota itu tidak ada yang datang, mereka ialah orang-orang yang berwatak keras dan meninggalkan solat berjamaah dan Jum’at, maka ada seorang dari penduduk desa itu yang mendengar bahwa Habib Umar mempunyai anak, lalu dia mengatakan keldaiku mempunyai anak, suatu ucapan yang mengejek dan sangat tidak pantas. Mendengar ejekan orang itu, Habib Umar tidak marah, bahkan Habib Umar mendatangi rumah orang itu dengan tujuh kawan beliau. Kedatangan ia menjadikan orang itu amat bergembira, sehingga ia menjadi amat kagum terhadap lemah lembut budi pekerti beliau. Kunjungan Habib Umar itu di pagi hari Jum’at. Ketika Habib Umar hendak keluar, maka ia bertanya kepada orang itu dan kawan-kawannya yang tidak mau menghadiri solat Jum’at: “Mengapa kalian tidak menghadiri solat Jum’at, padahal mempunyai pakaian-pakaian yang bagus dan harum baunya?” Jawab mereka: “Apakah kami boleh menghadiri solat Jum’at dengan memakai pakaian-pakaian yang bagus dan harum?” Jawab Habib Umar: “Boleh”. Maka mereka keluar gotong royong untuk menghadiri solat Jum’at dengan perasaan gembira dan puas karena sopan santun dan perilaku Habib Umar.

Kedermamawan al-Habib Umar al-Attas

Habib Umar al-Attas dikenal sebagai seorang yang amat murah tangan, sehingga rumahnya selalu dibanjiri segala lapisan masyarakat yang membutuhkan pinjaman beliau. Kedermawanan Habib Umar tidak pernah membedakan orang, semua orang disamakan pelayanannya, baik dia orang yang fakir atau pejabat tinggi. Habib Umar sangat peduli untuk memberi makan orang-orang, sehingga menyuruh pembantu-pembantunya untuk menyimpan sebagian hasil panen buat nanti bila datang ekspresi dominan paceklik. Sehingga kalau ada orang-orang yang membutuhkan pertolongan, pasti kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Meskipun besarnya kedermawan Habib Umar, tetapi ia tidak pernah menyombongkan diri di depan orang-orang lemah. Beliau senantiasa memberi pelayanan kepada orang-orang lemah dengan penuh kasih sayang, sehingga mereka tidak pernah rasa malu dengan beliau. Demikian pula, Habib Umar tidak pernah memaksa diri dalam menjamu tamu-tamunya, adakalanya tamunya orang miskin, ia hidangkan daging bila ia memilikinya. Adakalanya tamunya penguasa, ia hidangkan seadanya, bahkan ia lebih mengutamakan kaum lemah dari kaum penguasa. Hal itu terlihat pada perlakuan ia terhadap Sultan Badar ibnu Muhammad al-Katsiri. Yang demikian itu sengaja ia lakukan supaya tidak terasa di hati Sultan bahwa ia butuh pinjaman dari Sultan atau ingin mendekatkan diri kepadanya.

Adakalanya kalau ada orang-orang terpandang mengunjungi beliau, sedangkan ia tidak mempunyai hidangan yang pantas buat dihidangkan kepada mereka. Tetapi ia tidak segan mohon pinjaman atau pinjaman untuk menyembelih seekor kambing bagi tamu-tamunya yang terpandang itu, supaya mereka tidak kecewa bila penghormatannya atau hidangannya dirasa kurang cukup.

Al-Habib Umar sebagaimana yang diceritakan oleh putranya yaitu al-Habib Abdullah selalu menyisakan atau menyimpan sebagian hasil panen tahunan untuk ekspresi dominan paceklik, meskipun kebanyakan orang tidak memperhatikan hal ini. Karena itu bila banyak orang-orang yang mohon pinjaman materi makanan di rumah ia bila ekspresi dominan paceklik tiba, maka hal itu tidak mengherankan karena ia telah lama berkemas-kemas menghadapi krisis pangan mirip itu. Di ketika krisis pangan sedang melanda kaumnya, maka ia menolong orang-orang yang membutuhkan materi makanan. Di antara mereka, ada yang setiap saatnya diberi makan pribadi di rumah beliau, tetapi ada pula yang dikirim materi pangan ke rumah-rumah mereka, terutama bagi keluarga-keluarga yang tidak bisa mohon pinjaman orang, tetapi masa paceklik yang memaksa mereka untuk cari pinjaman dan juga untuk mempererat tali silaturahim.

Adakalanya, ada sejumlah tamu yang datang ke rumah ia di selesai malam, dan ia menyambut mereka dengan ramah-tamah. Biasanya bila ada tamu di selesai malam hari, ia membangunkan isterinya untuk menyiapkan makan malam buat tamu-tamu yang datang di selesai malam, adakalanya ia menyimpan sebagian makan malamnya, persiapan barangkali ada tamu yang datang. Biasanya bila materi makanan pokok menipis, maka ia dan keluarganya tidak mau makan materi pokok. Beliau dan keluarganya memilih materi pangan pengganti, sedang materi pangan yang pokok diberikan bagi orang lain yang membutuhkannya, terutama bagi para tamu yang datang ke rumah beliau. Kalau materi pangan pokok benar-benar habis, maka ia berikan materi pangan berupa apa saja tanpa malu.

Habib Umar tidak senang menonjolkan diri

Habib Umar dikenal sebagai seorang yang selalu merahasiakan keistimewaan-keistimewaannya dan ketekunan beribadahnya. Demikian pula, Habib Umar selalu mewasiatkan hal itu bagi murid-muridnya.

Habib Umar suka mengasingkan diri dari masyarakatnya. Kata beliau:

“Menonjolkan diri merupakan penyakit yang tidak ada obatnya”.

Seorang murid ia pernah melihat Habib Umar duduk di tempat sholatnya secara tersendiri. Ketika ia ditanya: “Mengapa ia mengasingkan diri?” Kata beliau: “Aku mengasingkan diri karena orang-orang itu selalu mendekati aku”.

Habib Ali bin Hasan al-Attas meriwayatkan bahwa Thabarani menyebutkan bahwa Anas r.a berkata: “Aku datang ke tempat Rasulullah SAW dan saya dapatkan ia mendorongkan sesuatu dengan kedua tangannya”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kiranya apa yang tadi engkau dorongkan dengan kedua tangannya ini?” Sabda beliau: “Tadi saya didatangi dunia maka saya mengusirnya dariku”.

Salah satu dari tanda ketidaksenangan Habib Umar untuk menampilkan diri dan tanda lemah lembutnya ialah bila ia mengunjungi suatu desa dan ia tinggal di desa itu selama tiga hari atau lebih atau kurang dari jumlah itu, tetapi kedatangan ia itu hampir tidak diketahui oleh penduduk desa yang ia kunjungi, kecuali hanya si pemilik rumah yang ia singgahi dan tetangga-tetangga dekatnya. Pada umumnya ia suka berjalan di ketika panas matahari atau di waktu tengah hari yang sangat panas, dan ia tidak senang ditemani orang lain, kecuali pembantunya. Jika ia tiba di suatu desa, maka ia sengaja memilih singgah di suatu rumah yang tidak akan dikenal orang banyak.

Gerakan dakwah al-Habib Umar al-Attas

Habib Umar pernah berkata:”Ketika saya diminta untuk bergerak di bidang da’wah, maka saya mengajukan banyak sekali alasan untuk menunjukan ketidakmampuan melakukannya”. Maka diberitahukan kepadaku: “Kami akan mendukungmu dalam melaksanakan peran da’wah ini dengan seorang yang amat bisa untuk melaksanakan peran ini. Kemudian Syeikh Ali Baras diperbantukan kepadaku”.

Dikarenakan seringnya perjalanan yang ia lakukan untuk berda’wah dan mendamaikan orang, hingga ia mengatakan: “Dikarenakan banyaknya perjalanan yang saya lakukan untuk berda’wah, hingga saya menjadi orang pendatang (asing) hingga kewajiban sholat Jum’at tidak diwajibkan bagiku”. Karena ia selalu dalam keadaan musafir.

Al-Habib Abdullah al-Haddad berkata: “Sebenarnya kami ingin mengunjungi makam-makam dan negeri-negeri, akan tetapi kami terhalangi oleh kecintaan dan ketergantungan insan kepada kami. Kami ingin sekali mirip Habib Umar ibnu Abdurrahman al-Attas, karena ia banyak berkunjung ke banyak sekali tempat, untuk berda’wah dengan tidak ditemani orang lain.

Al-Habib Abdullah al-Haddad berkata juga: “Pada tahun 1071 H, tepatnya hari Isnin tanggal 21 Jamadil Akhir, ketika kami berkunjung ke tempat al-Habib Umar al-Attas, maka kami meminta untuk berdua dengan ia tanpa diikuti orang lain. Ketika permintaanku itu dikabulkan oleh Habib Umar dan ia merestui dengan segala yang saya lakukan, ia menganjurkan saya untuk berdakwah secara khusus atau umum tanpa peduli ucapan orang banyak”.

Habib Umar selalu giat berda’wah, menyuruh yang baik dan melarang yang mungkar dengan cara yang lemah lembut, dan bersifat mengayomi orang, sehingga banyak orang yang suka dan cinta dengan beliau. Tidak sedikit orang-orang yang membangkang dan berbuat dosa terpengaruh oleh lemah lembutnya da’wah beliau, sehingga mereka bertaubat dan menjadi orang-orang yang taat kepada Allah. Beliau menggalakkan menghadiri sholat berjamaah dan sholat Jum’at. Selain itu, banyak sekali cabang-cabang amal-amal soleh pun digalakkan di tengah masyarakatnya. Pada waktu ia hingga di desa Huraidzah untuk pertama kalinya, ia dapati masyarakatnya banyak yang bodoh, membangkang, kasar, tidak suka tolong-menolong dan tidak mau berjamaah dan berjum’atan. Dengan tekun Habib Umar mengajak mereka ke jalan Allah. Habib Umar tidak pernah memaksa orang untuk berbuat baik, tetapi merayu mereka dengan cara-cara yang menarik, sehingga akhirnya penduduk desa Huraidzah menjadi manusia-manusia yang berbudi pekerti halus dan ramah-tamah.

Salah satu dari cara-cara menarik yang dipakai Habib Umar dalam menarik hati masyarakatnya ialah sering mengunjungi rumah-rumah mereka dan bercengkrama di rumah-rumah mereka, hingga mereka cinta dengan cara yang dipakai oleh beliau. Meskipun demikian, ia tidak segan menasihati mereka bila ada perbuatan-perbuatan terlarang yang dilakukan oleh mereka, misalnya dongeng yang tertera di atas akan pesan tersirat yang ia berikan kepada seorang Basuid yang menyuguhkan buah labu yang timbul di kebun milik wakaf. Termasuk juga lemah lembut ia terhadap orang yang mengatakan keledaiku juga mempunyai anak, sewaktu orang-orang mengucapkan selamat atas lahirnya anak beliau, yang mana mereka tidak mau melaksanakan solat Jum’at. Sampai mereka mau menghadiri solat Jum’at dan mereka tertarik dengan cara-cara yang menarik dari Habib Umar.

Terhadap orang-orang yang terang-terangan menentang hukum Allah, maka ia bersifat bergairah terhadap mereka. Di antaranya ialah ia tidak mau singgah ke rumah seorang dari keluarga Bashalib yang tidak mau memperlihatkan waris bagi putri-putri mereka: “Ketika mereka bertanya, maka ia berkata: “Bagaimana saya mau akan berkunjung ke rumah seorang yang tidak mau memberi hak waris bagi putri-putrinya?” Maka dengan ketegasan Habib Umar itu, mereka menyatakan taubatnya, dan akhirnya ia mau mengunjungi rumah mereka.

Sedangkan terhadap orang-orang yang tidak ada gunanya dengan cara-cara yang lemah lembut, maka ia bersifat bergairah dan marah yang sangat marah. Hal itu dinampakkannya mirip tidak mau memasuki rumah mereka, tidak mau menghadiri undangan mereka, sehingga banyak yang bertaubat di tangan beliau.

Disebutkan juga bahwa Habib Umar pernah menolak makan hidangan yang dihidangkan di rumah seorang yang tidak memisahkan antara harta dari hasil yang halal maupun yang haram, khususnya dari harta hasil riba’. Disebutkan bahwa pada suatu hari, Habib Umar diundang makan di suatu rumah yang pemiliknya sedikit banyak suka makan harta hasil riba’. Ketika hidangan makanan telah disuguhkan dan para tamu termasuk Habib Umar dan Syeikh Ali Baras dipersilakan makan. Ketika itu Habib Umar merasa bahwa hidangan itu ada undur haramnya. Maka ia memberitahukan kepada Syeikh Ali Baras ihwal hal itu. Kemudian keduanya meninggalkan jamuan makan tanpa menyantap sesuap pun dari makanan yang dihidangkan itu sehingga pemilik rumah bertanya-tanya ihwal sebabnya. Kata Habib Umar: “Dalam hidanganmu ada harta yang tidak halal”. Maka si pemilik rumah menangis dan berkata: “Kalau orang-orang yang baik tidak mau makan makananku, maka saya ialah orang yang paling jelek”. Lalu menyatakan taubatnya di hadapan Habib Umar dan ia berjanji tidak akan memungut harta dari hasil riba’ lagi.

Disebutkan bahwa pada suatu hari Habib Umar menghadiri majlis ta’lim Habib Aqil, saudara beliau, sepulangnya dari ziarah ayahnya. Ketika itu ada seorang yang kaya yang suka mendapatkan harta riba’ memberi suguhan kopi susu kepada para jamaah. Ketika Habib Umar merasa bahwa dalam kopi yang disuguhkan itu ada unsur haramnya maka ia berkata: “Angkatlah kopimu, kami tidak dapat meminumnya karena engkau suka mendapatkan harta riba”. Habib Umar sangat marah terhadap orang itu maka lelaki itu berdiri sambil marah dan nenentang Habib Umar sehingga Habib Umar berdoa bagi orang itu. Denga izin Allah, lelaki itu sakit dan mati tidak lama setelah itu. Kata Habib Ali bin Hasan al-Attas: “Karena lelaki itu menampakkan diri menentang Tuhan dari dua sisi, yang satu dengan harta riba’ yang ia makan. Tuhan berfirman:

“Maka ketahuilah Tuhan dan Rasulnya akan memerangimu”

Dan karena ia menentang wali Allah, mirip yang disebutkan dalam hadis Qudsi:

“Seorang yang menentang wali-Ku maka Aku akan memeranginya”

Di selesai usianya ketika Habib Umar solat Jum’at di desa Nafhun, ia duduk di pintu masjid. Maka ia memperlihatkan mauidhoh hasanah dan memperingatkan hadirin dari siksa Tuhan karena itu mereka diminta meningkatkan frekuensi ibadah mereka dan ketaqwaan mereka dan melarang dari apa yang menyebabkan kemurkaan Allah. Setelah itu ia berkata: “Apakah saya telah memberikan pesan-pesan Tuhan ini?” Jawab para hadirin: “Ya”. Maka ia berkata: “Ya Allah, saksikanlah kesaksian mereka”.

Di ketika itu ada seorang murid ia yang berjulukan Syeikh Abdul Kabir Baqais yang berkata:
 “Seolah-olah Habib Umar memperlihatkan pesan tersirat yang terakhir”.

Habib Umar gemar mendamaikan orang yang berselisih

Habib Umar al-Attas suka mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih demi untuk menjalankan pedoman Tuhan yang pernah disebutkan Tuhan dalam firmannya:

“Tiada kebaikan dalam sebagian besar bisik-bisik kalian kecuali seorang yang menyuruh bersedekah dan menyuruh berbuat kebajikan atau mendamaikan di antara insan yang berselisih. Barang siapa yang mengerjakan hal itu karena berharap ridha Allah, maka akan kami berikan pahala yang besar”

Disebutkan bahwa suatu hari ia mendamaikan di antara dua suku Kabilah Arab yang sedang bersengketa. Maka masing-masing suku berkeras kepala, sehingga ia bertanya kepada mereka: “Bagaimanakah pendapat kalian bila seseorang di antara kalian berada di suatu lembah, bisakah ia menjadikan lembah itu makmur atau bisakah ia menggali sumur seorang diri atau menolak serangan musih seorang diri?”

Jawab kedua suku itu: “Tidak bisa”. Jawab Habib Umar: “Karena itu bersatulah kalian semua supaya dapat menyelesaikan segala masalah secara bersama”. Berkat pesan tersirat Habib Umar itu, maka mereka bersatu kembali dan saling memaafkan”.

Dikisahkan oleh Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Kabir Baqais: “Pada suatu kali ketika Habib Umar menyeru perdamaian pada satu kabilah Arab dengan lemah-lembut, maka mereka menolaknya dengan cara bergairah sehingga ia melemparkan tasbihnya di antara mereka. Dengan kuasa Allah, tasbih itu berubah seolah-olah menjadi ular besar yang merayap di antara mereka sehingga mencari perlindungan di hadapan beliau. Maka mereka meminta maaf dari Habib Umar dan mendapatkan seruan perdamaian.

Disebutkan bahwa ada seorang yang berhutang dan si pemberi hutang mengadukan masalah keduanya kepada Habib Umar. Akhirnya setelah keduanya didamaikan oleh beliau, maka yang memberi hutang bersedia memaafkan sebagian hutangnya asalkan yang berhutang mau melunasi sebagiannya. Anehnya setelah keduanya keluar dari tempat Habib Umar, maka yang memberi hutang mengingkari perjanjian tadi sehingga yang berhutang memberitahukan Habib Umar. Maka Habib Umar marah pada si pemberi hutang seraya berkata: “Nanti engkau akan terkena penyakit dan akan terkena sengatan api sebanyak bilangan uang yang engkau ingkari kesepakatan kemudian akan menjadikan engkau mati”. Nyatanya ucapan Habib Umar itu dikabulkan Allah, akhirnya si pemberi hutang mati setelah ia menderita sakit beberapa waktu.

Disebutkan juga bahwa sebagian penduduk desa Huraidzah dipaksa menyerahkan tanah perkebunannya kepada kaum penguasa. Maka penduduk desa itu meminta pinjaman dari Habib Umar untuk memaksa kaum penguasa itu supaya membatalkan tuntutan mereka kepada penduduk Huraidzah. Ketika para penguasa mau menolak, maka Habib Umar mengancamnya akan mendoakan bagi mereka, maka mereka terpaksa membatalkan tuntutan mereka.

Disebutkan ada dua bersaudara pemilik kebun dari keluarga Ghanim yang berbuat zalim kepada tetangganya ihwal pengairan bagi kebunnya. Ketika kedua bersaudara itu dilaporkan kepada Habib Umar, maka keduanya dinasihati supaya memperlihatkan hak tetangganya, tetapi keduanya menolak bahkan menentang Habib Umar dengan penuh kurang asuh sehingga Habib Umar berkata pada mereka: “Kalian akan kami masukkan ke dalam lautan yang tiada bertepi”. Akibat ucapan Habib Umar itu, maka salah satu dari kedua bersaudara itu ada yang berubah akalnya sehingga ia menyerang saudaranya, dan saudaranya ikut tak sadar sehingga keduanya saling hunus senjata tajam, akhirnya keduanya saling menikam hingga keduanya mati secara tidak terhormat.

Habib Umar selalu berfikiran positif

Dikenal oleh banyak orang bahawa Habib Umar selalu berfikiran positif dan pendapatnya dapat dijadikan petunjuk yang baik. Beliau melihat dengan mata hati. Karena itu banyak orang yang selalu mohon pendapat beliau. Bagi yang mengikuti pendapat dan kebijaksanaan beliau, maka ia akan senang. Sebaliknya bagi yang menyalahi pendapat ia tidak sedikit yang menyesal dan rugi. Di antara pendapat ia yang memberi manfaat ialah pendapat yang ia berikan kepada Syeikh Muhammad ibnu Hussein al-Huraidhi untuk menghafal al-Quran. Sedangkan ia telah lanjut usia lalu diterimanya maka ia diberi fasilitas oleh Allah.

Di antara pula pendapat ia bagi Syeikh Muhammad al-Amiri an-Nahdi untuk menanam pohon kurma di salah satu tempat yang berjulukan Dhahirah, tetapi pendapat Habib Umar itu dianggap lemah oleh sebagian orang. Untungnya Syeikh Muhammad al-Amiri menjalankannya, sehingga ia berhasil mendapatkan untung besar.

Disebutkan bahawa Syeikh Abdullah ibnu Said Bamika, pemilik masjid al-Aredh di kota Syibam termasuk salah satu dari orang-orang saleh yang gemar beribadah dan menjalin persahabatan yang erat dengan Habib Umar. Syeikh termasuk orang yang kaya, tetapi pada suatu masa kejayaannya menurun hingga ia jadi miskin. Ketika ia mengadukan kepada Habib Umar, maka ia memberi petunjuk untuk melaksanakan suatu amal kebajikan. Syeikh Abdullah mengerti maksud petunjuk ia itu, sehingga ia menggali sebuah sumur dan ia membangun sebuah masjid di tempat itu. Setelah itu, ia melaporkan apa yang ia lakukan kepada Habib Umar. Dengan restu Habib Umar, maka kekayaan Syeikh Abdullah kembali mirip sediakala.

Ketika penduduk Syibam bertanya kepada Habib Abdullah al-Haddad, mana yang bagus solat di masjid Abdullah Bamika ataukah di masjid milik orang lain, maka Habib Abdullah al-Haddad menganjurkan orang untuk solat di masjid Abdullah Bamika karena masjid tersebut dibangun atas petunjuk seorang wali Allah, yaitu Habib Umar al-Attas.

Disebutkan juga bahwa ketika sebagian dari penduduk dari suku Nahdi datang kepada Habib Umar ihwal lamanya ekspresi dominan panas di desa mereka, hingga kebun-kebun kurma mereka banyak yang kering. Habib Umar menganjurkan mereka untuk menetap bersabar di desa mereka, mereka dilarang untuk pindah ke tempat lain, semoga tidak lama Tuhan akan menurunkan hujan ke desa mereka. Akhirnya dengan mengikuti petunjuk Habib Umar dengan tetap bersabar, maka tidak lama kemudian Tuhan menurunkan air hujan bagi penduduk desa itu, sehingga pengairan bagi kebun-kebun kurma mereka berjalan lancar lagi mirip sediakala.

Disebutkan bahwa Syeikh Umar bin Ahmad al-Hilabi al-Juaydi selalu berafiliasi erat dan yakin sepenuhnya kepada Alhabib Umar, dan tidak pernah menyalahi pendapat beliau. Karena itu Habib Umar memohon kebaikan kepada Tuhan bagi Syeikh Umar al-Hilabi dan bagi anak cucunya. Pada suatu kali ketika Syeikh Umar ini singgah di tempat Habib Umar, maka ia disambut oleh beliau. Waktu itu gres menjelang ekspresi dominan panen. Ketika ia minta izin untuk meninggalkan tempat Habib Umar, maka ia berkata: “Hai Umar, bila engkau hingga di desamu, maka panenlah dan ambillah hasil pohon kurmamu”.

Petunjuk Habib Umar itu dilaksanakan sebaik-baiknya oleh Syeikh Umar tanpa ragu-ragu lagi karena kuatnya itikadnya terhadap Habib Umar, padahal bila panen sekarang, maka hasilnya akan berkurang hingga penduduk desanya menegur dengan keras, bahkan di antara mereka ada yang menganggap Syeikh Umar sudah gila, untungnya ia tetap menghargai petunjuk Habib Umar.

Tidak lama kemudian ketika pasukan belalang menyerbu pohon-pohon kurma penduduk desa itu, semua hasil yang akan dipanen oleh penduduk desa itu rusak sehingga mereka menyesali nasib mereka karena tidak mendapat hasil panen kurma pada ekspresi dominan panen itu, sedangkan Syeikh Umar telah memetik hasilnya sebelum pasukan belalang menyerbu tanamannya. Maka mereka sadar akan diam-diam petunjuk Habib Umar dan faedah mengikuti pendapatnya.

Disebutkan bahwa putra Syeikh Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Afif sering ke desa Huraidzah untuk mengunjungi Habib Umar, karena ayah mereka ialah kawan bersahabat Habib Umar.

Pada suatu kali, Syeikh Ma’ruf, putra Syeikh Abdullah menginap di rumah Habib Umar sebelum beberapa hari, ia tidak mau ke tempat lain kecuali bila sudah mendapat izin dari Habib Umar.

Suatu hari ketika Syeikh Ma’ruf minta izin akan pulang, maka Habib Umar tidak mengizinkannya, setelah beberapa waktu ia minta pamit lagi, tetapi Habib Umar menolaknya, tetapi ia minta secara berkali-kali supaya ia diberi izin. Setelah ia agak memaksa, maka Habib Umar berkata: “Kami menahan anda untuk pulang supaya anda terhindar dari tuduhan pencurian yang akan terjadi dituduhkan penduduk desamu kepada saudara-saudaramu dan keluargamu”. Maka apa yang dikatakan oleh Habib Umar itu memang terjadi, sehingga Syeikh Ma’ruf terhindar dari tuduhan pencurian. Tetapi tidak lamapun tuduhan pencurian itu ditarik oleh penduduk desa Hajraian, karena pencuri yang bekerjsama dapat segera ditangkap.

Pada suatu hari ketika ia berkumpul dengan tokoh-tokoh masyarakat dari kaumnya, maka ia menasihati mereka untuk segera memperbaiki saluran-saluran air yang dipergunakan untuk mengairi kebun kurma mereka. Nasihat Habib Umar ini dilaksanakan oleh kaumnya meskipun bulan itu ialah bulan suci Ramadhan. Kebetulan setelah mereka selesai mengerjakannya, mereka pulang, maka tidak lama kemudian datang banjir, sehingga airnya melimpah ruah di tempat-tempat penampungan air yang telah mereka perbaiki.

Disebutkan pula bahwa pada suatu hari ekspresi dominan panas dan di mana paceklik yang luar biasa, tiba-tiba ada seorang lelaki yang sudah lanjut usia minta izin untuk ke Yaman. Ia telah menyimpan bekal makanan di rumahnya, tidak seorang pun yang tahu apa yang ia telah lakukan. Kata Habib Umar: “Mengapa engkau sore ini akan melaksanakan perjalanan ke tempat yang amat jauh dan perjalanannya pun amat berbahaya, padahal engkau masih menyimpan sejumlah materi makanan di tempat yang amat diam-diam sehingga tidak seorangpun yang mengetahuinya selain Allah”.

Setelah mendengar pesan tersirat dan pertanyaan dari Habib Umar, maka orang renta itu mengurungkan niatnya. Tidak lama dari kejadian itu, maka ia sakit dan wafat, sehingga sejumlah materi makanan yang ia sembunyikan itu jadi hidangan para pelawat mayit orang renta itu.

Sikap Habib Umar tehadap para penguasa

Habib Umar dikenal sebagai seorang yang tidak merasa takut terhadap kaum penguasa. Beliau suka menasihati mereka meskipun pesan tersirat ia adakalanya dirasakan pahit oleh kaum penguasa. Dan ia selalu menolak pemberian maupun hidangan mereka, sampaipun kayu bakar dari mereka ia tidak mau menggunakannya.

Pada suatu hari, ketika utusan Sultan Badar al-Katsiri memberitahu bahwa Sultan Badar akan mengunjungi ia di Huraidzah, maka ia memberitahukan bahwa ia yang akan mendatangi Sultan di mana ia berada, karena itu ia minta akan Sultan tetap berada di mana ia sekarang berada. Kemudian Habib Umar segera berangkat dan ia menyuruh pelayannya untuk membawa kopi, kayu bakar dan api, yang mana kopi itu untuk ia minum di tempat Sultan, karena ia tidak mau minum apapun dari milik Sultan atau milik kaum penguasa.

Setelah ia berhadapan dengan Sultan Badar, maka ia memberinya nasihat-nasihat yang berkhasiat mengenai dunia dan akhiratnya. Pada ketika itu, Sultan Badar menyuruh pelayannya membuat kopi yang dicampur dengan madu dan diminta untuk dihidangkan kepada Habib Umar dan rombongannya. Setelah dimasak dalam waktu yang lama, maka Sultan menyuruh pembantunya untuk segera menyuguhkannya ke hadapan Habib Umar. Ketika si pembantu melihat ke dalam tempat air yang sedang dimasak, ia menjadi terkejut karena di tempat air itu, air dan madunya tidak ada sehingga ia segera melapor kepada Sultan Badar. Laporan dari si pembantu itu menjadikan Sultan Badar menyadari bahwa Habib Umar sangat tinggi rasa wara’nya dan ia merasa bahwa air kopi itu habis dikarenakan besarnya karomah beliau. Akhirnya Sultan Badar segera minta maaf kepada Habib Umar. Kata Sultan Badar: “Mengapa anda hingga kami ajak minum secangkir kopi dari kami saja anda tidak mau?” Jawab Habib Umar: “Memang, kalau kami tidak menjaga diri, tentunya kami tak akan dapat berbuat mirip itu”.

Biasanya bila penguasa minta pendapat dari Habib Umar, maka ia memberi pendapat yang sejujurnya, walaupun pendapat ia itu dirasa tidak menyenangkan hatinya.

Disebutkan ketika ada seorang penguasa di Hadramaut berkata kepada Habib Umar: “Kami selalu mengingatimu dan mengharap doamu wahai Habib Umar”.

Jawab Habib Umar: “Kami tidak takut kalian akan terkena gangguan dari warga barat dan timur, kecuali bila ada seorang yang teraniaya hak-haknya yang berdoa, karena doa orang yang teraniaya akan segera dikabulkan oleh Allah. Di ketika itu doaku tak dapat berkhasiat bagi kalian”.

Habib Umar al-Attas dikenal sebagai seorang yang tidak mau mendapatkan pemberian apapun bentuknya dari kaum penguasa. Meskipun demikian setiap hadiah yang diberikan kepada Habib Umar maka ia menerimanya dengan penuh karomah selanjutnya ia memberikannya lagi kepada yang memberinya dengan cara yang penuh hormat sehingga yang memberi tidak merasa tersinggung atau disedekahkan kepada fakir miskin.

Habib Umar sangat memperhatikan kepada para pengikutnya yang mencintainya

Keterkaitan perasaan Habib Umar terhadap pengikut-pengikutnya yang mencintainya amat besar. Tentang masalah ini banyak dikenal orang.

Di antaranya ialah sebagaimana yang dikisahkan oleh Syeikh Muhammad ibnu Ahmad Bamasymus berikut ini: “Waktu saya masih kecil, saya sempat menempuh perjalanan di padang pasir yang amat luas dan tandus bersama sekelompok rombongan. Ketika kami tiba di suatu tempat yang tidak ada airnya, maka kami merasa sangat haus, sehingga rombongan kami melarikan diri dan saya ditinggalkan seorang diri di tengah padang pasir yang tandus tidak dapat menyusul mereka. Kemudian tidak lama saya mendapatkan sebuah mata air sehingga saya minum airnya dengan sepuas-puasnya. Aku kira mata air itu ialah mata air lama yang biasa diambil airnya, kemudian saya melanjutkan perjalananku dan saya mendapatkan orang-orang yang meninggalkan saya tadi sedang berebut minum air di suatu mata air. Kemudian mereka merebahkan diri karena lelah dan haus. Ketika mereka melihat saya datang maka mereka menyilahkan saya minum di mata air itu, tetapi saya katakan bahwa saya telah minum di suatu mata air yang tadi kalian telah melewatinya. Mereka merasa heran akan perkataanku karena mereka merasa bahwa tidak mendapati mata air selain dari tempat mereka berada di ketika itu. Setelah saya dewasa, ketika saya bertemu dengan Habib Umar, maka ia bertanya kepadaku: “Wahai Muhammad, ingatkah engkau ketika engkau berada di suatu tempat yang tandus dan engkau hampir mati dari kehausan, maka engkau segera mendapati mata air dan engkau meminum sepuas-puasnya?” Ucapan Habib Umar itu mengingatkan saya bahwa hal itu suatu karomah dari beliau”.

Disebutkan Syeikh Muhammad Bamasymus juga bahwa pada suatu hari ketika kami dan Syeikh Ali Baras dan rombongannya berkunjung ke desa Habib Umar di Huraidzah, maka ia menyuruh kami untuk meneruskan perjalanan ke episode bawah Hadramaut. Ketika kami tiba di kota Tarim, saya menderita sakit hingga tidak dapat mengikuti rombongan Syeikh Ali Baras. Lalu ia menyuruh , maka sewaktu saya hingga di desa Dhibiy, bertambah keras sakitku hingga saya pengsan. Di malam hari ketika saya dalam keadaan sakit-sakitan, saya mendengar Habib Umar sedang berdehem di rumahnya di Huraidzah sedangkan saya sekarang di Wadi Dhibi. Maka di ketika itu hilanglah pengikutku dan kesihatanku telah pulih kembali. Hal itu tidak lain dikarenakan kekeramatan beliau.

Dikisahkan oleh Syeikh Salim ibnu Abdul Qawi bahwa ayahnya yang berjulukan Abdul Qawi bin Muhammad Baqais, bahwa pada suatu hari Syeikh Abdul Qawi berjalan di suatu pergunungan bersama seorang kawannya. Ketika keduanya akan naik ke atas, maka keduanya mencari jalan yang dilewati supaya dapat hingga ke atas. Singkat katanya, keduanya mendapati satu jalan sempit ke arah atas. Jalan itu hanya dapat dilewati seorang saja. Ketika kawannya naik lebih dahulu, tiba-tiba satu kerikil besar jatuh ke bawah. Kebetulan pada waktu itu Syeikh Abdul Qawi sedang naik ke atas sehingga kerikil besar yang melewati jalan yang sempit itu sehingga Syeikh Abdul Qawi merasa terancam dan ia terkejut. Untung pada ketika itu ia ingat kepada Habib Umar sehingga ia berteriak memanggil nama Habib Umar al-Attas. Dengan izin Allah, maka kerikil itu sudah berada di belakangnya hingga ia terhindar. Tentunya kejadian itu ialah sebagai bukti adanya pertolongan Tuhan dan adanya kekeramatan Habib Umar al-Attas.

Disebutkan bahwa Syeikh Salmin ibnu Umar dan kawan-kawannya pergi ke Yaman. Mereka naik kuda. Syeikh Salmin dikenal sebagai penunggang yang mahir. Ketika rombongan melewati suatu pantai, tiba-tiba kuda yang ditunggangi Syeikh Salmin berjalan di tepi laut. Kebetulan di ketika itu ada gelombang yang menerjang kuda Syeikh Salmin, hingga kudanya Syeikh Salmin terseret ke tengah laut hingga kawan-kawannya sangat menyesalkan keadaan kawannya yang terseret ke tengah lautan itu. Mereka tidak dapat memperlihatkan pinjaman sedikitpun pada Syeikh Salmin. Kebetulan Syeikh Salmin yang sedang menghadapi maut itu ingat kepada Habib Umar sehingga ia berteriak menyebut nama Habib Umar dan ia bernazar bila ia diselamatkan Tuhan dari ancaman maut itu, maka ia akan memperlihatkan harga kuda itu kepada Habib Umar. Dengan rahmat Allah, maka ia seolah-olah diselamatkan oleh seseorang yang sedang naik seekor kuda. Setelah ia selamat, maka ia menaiki kudanya yang tadi ikut terseret ke tengah lautan itu. Tidak lamapun ia dapat mengejar kawan-kawannya hingga mereka tercengang dan merasa gembira. Maka ia menceritakan apa saja yang ia dapati dan iapun memenuhi nazarnya bagi Habib Umar.

Disebutkan juga bahwa Muhammad ibnu Hushin al-Huraidhi yang pernah diajarkan oleh Habib Umar al-Attas untuk menghafalkan Al-Quran meskipun usia sudah lanjut, dengan keyakinannya, maka ia melaksanakan tawaran Habib Umar dan akhirnya ia dapat menghafal Al-Quran di luar kepala.

Pada suatu hari, Muhammmad ibnu Hushin al-Huraidhi ini bergadang bersama teman-temannya. Kebetulan pada waktu itu sedang ekspresi dominan belalang yang merosak tanaman. Mereka sepakat untuk memperabukan belalang mulai dari sarangnya yang ada di suatu gua di tempat yang berjulukan Gorgodah sebelah utara desa Huraidzah. Pada malam itu, mereka keluar dengan membawa api dan pelepah-pelepah pohon kurma menuju gua yang dimaksud. Sesampainya di dalam gua dari obor seorang di antara mereka menjadikan api membara di tempat sekitarnya. Nampaknya api itu dianggap remeh oleh mereka, karena itu mereka tidak memperdulikannya. Setelah api makin membesar maka mereka tidak mendapat jalan keluar dari gua itu sehingga mereka yakin bahwa mereka akan binasa. Maka di ketika itu mereka teringat terhadap Habib Umar, kemudian mereka memohon ampun kepada Tuhan dengan bertawasul kepada Habib Umar. Maka dengan balas kasih Tuhan salah satu dari celah gua itu terbuka sehingga terbentang jalan keluar bagi mereka dari gua itu. Itulah salah satu dari kesekian dongeng dari kekeramatan Habib Umar. Kata Habib Ali ibnu Hasan al-Attas: ” Kisah yang dialami Muhammad ibnu Hushin dan kawan-kawannya di dalam gua itu sangat mirip dengan kisah 3 lelaki Bani Israel yang terjebak dalam gua mirip yang disebutkan di dalam Hadith Bukhari”. Bahkan keadaan ini lebih menakutkan.

Kasih sayang Habib Umar terhadap binatang

Habib Umar amat sayang kepada binatang. Hal itu terlihat dari kejadian-kejadian berikut ini. Disebutkan ia bila masuk ke rumahnya, maka ia minta diambilkan sejumlah makanan yang dimiliki keluarganya demi untuk keledainya yang gres ia tunggangi.

Disebutkan juga bahwa Habib Umar melarang Syeikh Salim al-Junaid untuk memukul keledainya yang mogok di suatu tempat yang amat panas. Beliau menyuruh Syeikh Salim untuk mengangkat leher keledainya dan Habib Umar ikut membantunya. Meskipun keledainya itu mogok berkali-kali, tetapi Habib Umar tetap melarang Syeikh Salim untuk memukulnya.

Pada suatu kali, ada seorang dari Lahrum yang membawa ternaknya dengan memukuli ternaknya dengan keras. Maka ia datang kepada Habib Umar. Ketika ia hendak berjabat tangan dengan Habib Umar, maka Habib Umar menolak berjabat tangan dengannya. Jawab Habib Umar: “Aku tidak mau berjabat tangan denganmu karena tanganku sakit”. Maka orang tadi bertanya: “Karena apa?” Jawab beliau: “Dari sakitnya pukulan tersebut ketika engkau memukuli binatang-binatang ternakmu tadi”. Ketika orang itu minta maaf kepada Habib Umar maka ia menasihatinya dengan keras supaya ia tidak mengulangi perbuatannya itu.

Gangguan-gangguan yang menimpa Habib Umar al-Attas

Seorang yang mempunyai peran sebagai Da’i sekaligus penegak kebenaran, maka gangguan-gangguannya tidak sedikit, bahkan ia mendengar seorang yang berkata kepada beliau: “Alangkah enaknya anda wahai Habib Umar, karena seorang semacam anda tidak akan ada orang yang berani membenci anda”. Maka ia berkata: “Katakan kalimat Lailaaha illallah sebanyak orang-orang yang membenci Habib Umar”. Hal ini menunjukkan akan banyaknya orang-orang yang memusuhi beliau.

Orang-orang yang mengganggu dan menyakiti Habib Umar itu bukan saja dari orang-orang luar, tapi dari orang dalam rumah ia sendiri, yaitu dari isteri ia sendiri. Adapun ceritanya sebagai berikut:

Pada suatu malam ada serombongan tamu datang ke rumah Habib Umar. Maka ia membangunkan isterinya dan menyuruhnya mengembangkan makanan malam bagi tamu-tamu beliau, tetapi isteri ia menolaknya. Habib Umar memintanya dengan lemah lembut tetapi isteri ia tetap menolaknya. Akhirnya Habib Umar terpaksa keluar rumah tetangganya minta tolong supaya isterinya memasak buat makan malam tamu-tamu beliau. Maka isteri tetangga itu berkenan mengembangkan makan malam bagi tamu-tamu Habib Umar.

Yang menyakitkan Habib Umar tidak saja terjadi semasa Habib Umar masih hidup, tetapi setelah ia wafatpun, tidak sedikit yang menghasut dan mencaci-maki beliau. Anehnya setelah orang-orang yang menghasut itu melihat kekeramatan Habib Umar, maka gres mereka menyesal dan mengakui besarnya kekeramatan beliau.

Isyarat ihwal dekatnya kematian beliau

Disebutkan bahwa Habib Umar al-Attas pernah memberitahukan dekatnya ajalnya, adakalanya pemberitahuan itu berupa isyarat-isyarat yang dapat dimengeti, tetapi ada pula yang terang-terangan. Disebutkan bahwa ketika ia ditanya oleh seorang pada umur berapa ia akan wafat, maka ia mengisyaratkan pada usia 80 tahun. Kenyataannya memang demikian. Berita tersebut pernah disampaikan oleh Habib Abdullah, putra beliau.

Disebutkan pula, ketika ia bertemu dengan tokoh-tokoh Ba’alawi mirip habib Abdullah al-Haddad, Habib Ahmad bin Hashim dan Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi di desa Sad’beh. ia sempat memberi pesan-pesan terakhir bagi mereka dan ia mengatakan: “Mungkin ketika ini ialah pertemuan terakhir dengan kalian di dunia, saya akan menemui kalian kelak”. Kemudian ia meninggalkan desa Sad’beh menuju desa Nafhun. Tidak lama setelah ia tiba di desa Nafhun, ia wafat.

Di kematian beliau, ketika ia solat Jum’at di masjid desa Nafhun, maka ia duduk di depan pintu masjid sebagaimana tertera di atas. Beliau memberi nasihat-nasihat yang baik bagi pengikut-pengikutnya, kemudian ia bertanya kepada mereka: “Bukankah saya telah memberikan pesan-pesan Tuhan ini?” Jawab pengikut-pengikut beliau: “Ya”. Kemudian ia berkata: “Ya Allah, saksikanlah ucapan mereka, sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang menyaksikan”. Setelah mendengar ucapan ia yang terakhir itu, salah seorang pengikut ia ada yang berkata kepada putra beliau, Habib Hussein: “Ucapan ayahmu yang terakhir ini mengisyaratkan bahwa ia akan meninggalkan kita, lalu memperlihatkan bela sungkawa terhadap Habib Hussein”.

Awal sakit ia

Disebutkan oleh Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi, bahwa ketika ia berkunjung ke tempat Habib Umar beserta murid-muridnya ke Huraidah tetapi Habib Umar berada di Sahrun. Habib Isa tidak diperkenankan masuk ke tempat Habib Umar dan ia menyuruh untuk menunggu. Demikian pula ketika al-Habib Ahmad bin Hasyim al-Habsyi tiba di tempat itu dan ingin berkunjung Habib Umar, maka ia pun ditolak menemui Habib Umar, sebelum diizinkan oleh beliau. Pada hari itu juga al-Habib Abdullah al-Haddad tiba gotong royong murid-muridnya di tempat itu dan ia disuruh menunggu di tempat itu.

Tidak lama kemudian Habib Umar menemui ketiga tokoh Ba’alawi itu bersama rombongannya secara singkat. Dalam pertemuan itu, ia berdo’a dan ia memberi libas kepadanya mengajak membaca surat al-Fatihah. Kemudian ia berkata: “Hari ini ialah hari pertemuan terakhir di dunia ini, semoga kita dapat bertemu lagi di sisi Allah”. Kemudian Habib Umar menyuruh kepada Habib Abdullah al-Haddad untuk pergi ke Haynan dan Habib Ahmad bin Hasyim untuk pergi ke Hajrain dan ia juga memperlihatkan libas kepadanya. Sedangkan Habib Isa bin Muhammad diajak ke desa Huraidzah bersama beliau. Setelah keduanya tiba di desa Andal maka keduanya menghadiri majlis pembacaan Maulud Nabi S.A.W. Selanjutnya pada keesokan harinya sewaktu hingga di desa Hunfur, Habib Isa diperintahkan ke desanya dan selanjutnya diminta pada malam Khamis untuk pergi ke desa Nafhun. Kata Habib Isa: “Aku tiba di desa Nafhun pada malam Khamis dan saya dapatkan putra-putra Habib Umar dan kawan-kawan serta murid-muridnya yang datang dari banyak sekali tempat sedang berkumpul dengan beliau”.

Di waktu menjelang ketika wafatnya Habib Umar, ia mengulang-ulang mengucapkan bait puisi:

“Wajah kekasihku ialah tatapanku, saya senantiasa menghadapkan wajahku kepada-Nya,
cukuplah dia sebagai kiblatku dan saya pun pasrah diri kepada-Nya”. Kedua bait puisi di atas ialah ucapan Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus al-Adni.

Al-Habib Hussein bin Umar al-Attas: “Ketika ketika menjelang kewafatannya, ayahku mengulang-ulangi bait-bait puisi al-Faqih Umar Bamahramah:

“Jika bukan dikarenakan besarnya impian kepada Tuhan dan berkeyakinan yang baik terhadap orang-orang yang menghiasi masjid dengan yang selalu menghadiri sholat berjamaah, tentunya tak seorangpun di antara kami yang mengharapkan kesenangan pada sisa umur, karena beristirahat di perkuburan ialah lebih baik dan lebih bermanfaat dari hidup di dunia, berada di antara orang-orang yang suka berbuat fitnah dan suka menghasut”.

Dikatakan pula oleh al-Habib Hussein bahwa sebelum tiba ketika kewafatannya, Habib Umar sempat mengulang firman Allah:

“Katakan, hai hamba-hamba-Ku yang telah menzalimi dirinya, janganlah kalian berputus-asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Tuhan berkenan memberi ampun seluruh dosa-dosa, sesungguhnya Dia Maha Pemberi Ampun dan Maha Penyayang”.

Dikatakan pula bahawa Habib Umar sering membaca surat al-Fatihah kemudian ia mengusap tangannya ke wajahnya. saya pernah bertanya kepada beliau: “Mengapa saya sering melihatmu membaca al-Fatihah kemudian engkau mengusapkan tanganmu ke wajahmu?” Jawab Habib Umar: “Kira-kira mengapa saya melaksanakan hal itu?” Kata Habib Hussein: “Aku tidak tahu”. Kata Habib Umar: “Apa yang dikatakan orang banyak?” Jawab Habib Hussein: “Mereka sering mengeluh ihwal kesulitan mereka”. Kata Habib Umar: “Sesungguhnya saya memperbanyak membaca al-Fatihah dengan impian semoga mereka dijauhkan dari segala bencana dan diberi kebahagian karena mereka peru diperhatikan”.

Kata al-Habib Hussein bin Umar: “Selama dalam sakitnya, ayahku sering tidak sedarkan diri. Jika ia sadar, maka ia sering menanyakan keadaan para sesepuh ulama yang ada beliau. Ketika ia ditanya ihwal dimanakah ia harus dikuburkan, maka ia berkata: “Mohonlah petunjuk kepada Allah, nanti Tuhan memberi petunjuk kepadamu”. Nyatanya setelah ia wafat, maka banyak pertolongan-pertolongan yang datangnya dari banyak sekali tempat. Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia berwasiat kepada kami: “Perhatikanlah keadaan agama kalian, hendaknya kalian saling tolong-menolong dan bersabar, karena besabar akan memberi hasil yang memuaskan”. Di ketika itu pula ia berdo’a memohonkan pertolongan bagi orang-orang Islam supaya diberi kesabaran bila mereka berpisah dengan beliau”.

Di ketika yang sekrisis itu, ia bertanya ihwal muridnya Syeikh Abbas bin Abdillah Bahafash, apakah ia sudah datang dari desa Huraidzah, karena ia minta dimandikan oleh Syeikh Abbas. Untungnya Syeikh Abbas tiba di malam harinya sebelum ia wafat, sehingga ia bergembira atas kedatangannya.

Ketika sedang menghadapi saat-saat terakhir, maka ia menyuruh orang-orang yang ada di sekitarnya untuk berzikir di sisinya dengan bunyi keras, sehingga terdengar mirip gaungnya Tawon. Beliau menghembuskan nafas terakhir dengan keadaan berzikir dan diiringi dengan bunyi zikir dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia minta diwudhui. Maka Syeikh Abbas bin Bahafash mewudhui beliau. Ketika Syeikh Abbas lupa menyela-nyela janggut beliau, maka ia mengingatkannya dengan gerakan tangan karena pada waktu itu ia sudah tak dapat berkata-kata, tentunya hal itu ada sebagai petanda bahwa ia selalu mengikuti jejak sunnah Rasulullah S.A.W. Sekalipun di ketika yang sangat krisis.

Di ketika itu, salah seorang murid ia yang menyebut-nyebut kalimah Laa Ilaaha Illallah di sebelah indera pendengaran ia sebagaimana yang disunnahkan Rasulullah S.A.W. meskipun orang itu telah diberitahu bahwa perbuatan semacam itu tidak perlu dilakukan terhadap Habib Umar yang telah menjadikan kalimat zikir telah menyatu dengan darah dan dagingnya.

Habib Umar menghembuskan nafasnya yang terakhir di tengah malam , yaitu malam Khamis tanggal 23 Rabi’ul Akhir 1072H. Wafatnya Habib Umar membuat murid-murid dan pengikut ia merasakan kesedihan yang sangat mendalam baik kecil maupun besar. Beliau wafat di desa Nafhun , tetapi mayit ia dimakamkan di desa Huraidzah pada hari Khamis sore. Para pelawat mayit ia mengadakan pembacaan al-Quran dan mengkhatamkannya berkali-kali dan hal itu berlangsung delapan hari di sisi kubur beliau. Hal itu menunjukkan betapa besarnya karomah beliau. Tepat pada dikuburkannya Habib Umar, suasana di desa itu diliputi mendung dan hujan. Kepergian Habib Umar banya membangkitkan keinginan para penyair untuk menuangkan duka-cita mereka dalam bait-bait puisi yang indah. Di antara puisi al-Faqih Umar bin Qadim.

Beberapa mimpi ihwal keadaan Habib Umar setelah ia wafat

Tepat di malam wafatnya Habib Umar al-Attas, salah seorang saleh dari keluarga Ba’alawi di Tarim bermimpi seolah-olah bulan dan matahari terjatuh di tanah keluarga Ba’alawi, nyatanya ia mendengar khabar ihwal wafatnya Habib Umar.
Disebutkan oleh Syeikh Abdullah bin Syeikh Ali bin Abdullah Baras, katanya ketika Syeikh Ali telah wafat, maka Syeikh Muhammad bin Ahmad Bamasymus mimpi bertemu dengan Syeikh Ali Baras dan ia bertanya kepadanya: “Di manakah engkau bertemu dengan Habib Umar?” Jawab Syeikh Ali Baras: “Aku sempat berjabatan tangan dengan Habib Umar di bersahabat Arasy Tuhan”.

Disebutkan oleh seorang keluarga Bawazir, bahwa ia bermimpi di suatu malam seolah-olah hari selesai zaman telah tiba. Pada ketika itu seolah-olah insan sedang berkumpul di padang Mahsyar, jumlah mereka amat banyak. Ketika mereka sedang berada di tengah-tengah padang Mahsyar, tiba-tiba ada api di bawah Hadraumaut, sedangkan Malaikat menggiring insan dengan besi yang amat panjang. Ketika orang-orang itu melihat api dan rantai yang panjang, maka mereka berlarian ke sebuah tempat di Wadi Amed, maka saya lihat ada cahaya turun dari langit mirip awan putih yang mengumpal. Ketika saya tanyakan: “Apa kejadian ini?” Maka dikatakan: “Ini ialah cahaya Tuhan Yang Maha Mulia yang hendak menghakimi insan di padang Mahsyar. Di ketika itu saya lihat Habib Umar berdiri di bawah pancaran cahaya itu, sedangkan Malaikat Ridwan berada di sebelah kanan beliau. Demikian pula Malaikat Malik hadir dengan wajah yang seram. Kemudian saya lihat Habib Umar memohon syafaat kepada Tuhan bagi umat Muhammad S.A.W: “Wahai Tuhan kami, mereka ialah umat Muhammad S.A.W, mereka datang kepada Engkau dengan menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Tuhan dan menyaksikan bahwa Muhammad utusan Allah, mereka mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, beribadah Haji, bersedekah, menyambung tali kekerabatan, menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat, karena takut kepada-Mu. Jika Engkau siksa mereka, maka mereka ialah hamba-hamba-Mu, dan bila Engkau mengampuni mereka, maka Engkau Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Ucapan Habib Umar itu dibantah oleh Malaikat Malik: “Wahai Tuhan kami, mereka tidak mirip yang dikatakan oleh Habib Umar. Mereka meninggalkan sholat, tidak mau membayar zakat, tidak berpuasa dan tidak berhaji, dan mereka selalu melanggar larangan-larangan-Mu. Habib Umar mengulangi permohonannya sekali lagi dan Malaikat Malik pun mengulangi bantahannya pula, hingga akhirnya Tuhan berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, Aku terima permohonan Habib Umar dan Aku berkenan mengampuni mereka”. Tuhan berfirman: “Wahai Malaikat Ridwan, bukalah pintu Syurga dan ajaklah mereka masuk ke dalamnya”. Maka Malaikat Ridwan bangun dan bergembira dan melaksanakan perintah Tuhan kepadanya. Sedangkan Malaikat Malik terlihat amat geram. kata orang yang bermimpi itu: “Pada ketika itu, seolah-olah saya berdiri bersama mereka dengan memegangi baju Habib Umar dan saya merasa amat takut sehingga saya berkata kepada Habib Umar: “Wahai Habib Umar, bicaralah kepada Malaikat Ridwan supaya saya dimasukkan Syurga bersamanya”. Kata Habib Umar: “Pergilah engkau bersama mereka ke dalam Syurga kerana permohonanku telah diterima oleh Tuhan bagi umat ini”. Kataku: “Bicarakanlah dengan Malaikat Ridwan untuk membawa ke dalam Syurga, karena saya takut dengan dosa-dosaku yang amat banyak”. Kata Habib Umar: “Wahai Malaikat Ridwan, bawalah orang ini ke dalam Syurga”. Jawab Malaikat Ridwan: “Biarkan ia pergi bersama”. Ketika Malaikat Ridwan memegangi tanganku dan mengajakku ke dalam Syurga, maka saya terbangun karena terasa amat senang”.

Kata-kata mutiara dari Habib Umar al-Attas

Habib Umar pernah berkata: “Perhatikan kebiasaan baik yang engkau inginkan wafat dalam kebiasaan itu, karena itu tetaplah engkau dalam kebiasaan mirip itu, dan perhatikanlah kebiasaan buruk yang tidak engkau inginkan wafat dalam kebiasaan mirip itu, kerana itu jauhilah kebiasaan itu”.

Habib Umar berkata: “Jika engkau melihat seorang selalu berkelakuan baik, maka yakinlah engkau orang itu teguh agamanya”.

Habib Umar berkata: “Sumber-sumber ilmu tidak akan berkurang sedikitpun dari generasi terkemudian, akan tetapi pada umumnya mereka datang dengan membawa wadah yang bocor, sehingga tidak memperoleh ilmu kecuali sedikit.”

Habib Umar berkata: “Sebagian orang yang datang dengan membawa benjana yang dapat mencukupinya dalam waktu sebulan, ada yang mencukupinya hanya 8 hari, ada juga yang mencukupinya sehari, tetapi ada juga yang dapat mencukupinya sepanjang hidupnya”.

Ketika ia mendengar sabda Nabi S.A.W:

“Seseorang adakalanya berinfak kebajikan-kebajikan hingga antara ia dengan Syurga hanya tinggal sejengkal, tetapi dalam ketentuan Illahi, ia ditetapkan sebagai penghuni Neraka, sehingga ia melaksanakan perbuatan-perbuatan amal penghuni Neraka, hingga ia masuk ke dalam Neraka. Seseorang adakalanya berinfak kejahatan-kejahatan hingga antara ia dengan Neraka hanya tinggal sejengkal, tetapi dalam ketetapan Illahi, ia ditetapkan sebagai calon penghuni Syurga, hingga ia masuk ke dalam Syurga”.

Komentar Habib Umar: “Seseorang yang selalu mengerjakan amal-amal andal Syurga, kebanyakkannya akan masuk ke dalam Syurga, karena perbuatan lahiriyah ialah lambang perbuatan batiniyah. Jika ia hingga masuk ke dalam neraka, maka hal itu jarang sekali. Hal itu mirip seorang yang jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi, tentunya orang itu tidak akan berbahaya. Demikian pula seorang yang melaksanakan amal-amal penduduk neraka, kebanyakannya ia akan masuk ke dalam neraka. Tetapi kalau ia masuk ke dalam Syurga, maka hal itu jarang terjadi sekali. Hal itu mirip seorang yang jatuh dari puncak gunung, kebanyakannya akan mati”.

Habib Umar berkata: “Seorang yang melaksanakan amal kebajikan tetapi ia suka makan yang diharamkan, maka ia mirip seorang yang mengambil air dengan tempayan yang datar, alias tidak akan memperoleh pahala sedikitpun”.

Habib Umar berkata: “Dulu di antara manusia, ada yang datang membawa pelitanya lengkap dengan minyak dan koreknya yakni dengan persiapan yang lengkap, sehingga gurunya dapat menyalakan. Tetapi kini, banyak di antara yang datang kepada gurunya tetapi mereka tidak membawa apapun gurunya dapat menyalakan”.

Habib Umar berkata: “Bersabar itu alhasil ialah positif. Tuhan akan selalu memberi akhir positif bagi seorang yang bersabar. Alhamdulillah apa yang dikehendaki Tuhan pasti akan ditentukan, dan apa yang akan dilaksanakan Allah, maka akan terlaksana”.

Habib Umar berkata pada sekelompok kaum petani: “Apakah kaum petani akan tidur nyenyak di malam hari, bila di malam hari ada pembagian air untuk sawah-sawah mereka yang dapat mengairi sawah-sawah mereka?” Jawab mereka: “Tidak seorangpun akan tidur di antara kami.” Kata Habib Umar: “Hendaknya orang-orang yang menghendaki keselamatan di alam abadi meninggalkan tidurnya, demi untuk mendapatkan siraman rahmat di tengah malam hari”.

Ketika dibacakan bait puisi Syeikh Abdul Hadi Assudi:

“Siapa yang mencinta Suad, hendaknya selalu tidak tidur di malam hari”.
Habib Umar memberi komentarnya: “Siapa mencintai Huraidzah, maka ia tidak tidur di malam hari, artinya siapa yang mencintai seorang, maka ia harus mengikuti perjalanannya, karena mengikuti perilaku seseorang sebagai tanda cinta kepadanya”.

Habib Umar berkata: “Hendaknya kalian senantiasa menghadirkan hati kalian kepada Tuhan dan hendaknya kalian senantiasa menghadirkan hati kalian kepada Tuhan dan hendaknya kalian bertawakal kepada-Nya sepenuh hati, karena Tuhan mengetahui di manapun kalian berada.”

Habib Umar berkata: “Syaitan dapat menarik hati insan dari sisi manapun yang tak pernah ia perkirakan”.

Habib Umar berkata: “Buah kurma atau buah ketimun dari sumber yang halal lebih baik dari bubur daging dari sumber syubhat”.

Habib Umar berkata: “Janganlah terlalu perduli kepada dunia dan penghuninya dan janganlah merasa iri pula dengan pakaian atau makanan yang dimiliki oleh penghuninya”.

Pada suatu hari, ketika banyak orang yang mengucapkan kata belasungkawa kepada Habib Umar atas wafatnya putranya ia yang masih kecil, maka ia berkata dengan ungkapan yang dipenuhi rasa hairan: “Alangkah entengnya bencana alam dalam agama menurut kalian, padahal kalian tidak pernah menyatakan belasungkawa andaikata saya terlambat sholat berjamaah artinya terlambat sholat berjamaah lebih pantas untuk disesali atas kewafatan seseorang anak kecil”.

Ketika ia mendengar kekaguman sebagian orang yang menyaksikan kekeramatan seseorang wali, maka ia berkata: “Sesungguhnya semua itu hanyalah kemurahan Tuhan yang memperlihatkan kepada seorang hamba”.

Ketika disebutkan kepada beliau: “Mengapa dialek bahasamu tidak berubah, padahal engkau telah lama tinggal di episode atas Hadramaut?” Jawab Habib Umar: “Seorang yang merubah dialek bahasanya ialah seorang yang kurang akalnya”.

Habib Umar berkata: “Desa Huraidzah ialah wilayah kehormatan kami, adapun wilayah kehormatan Syeikh Abdul Qadir Djaelani ada di masa sebelum kami, barangsiapa yang melaksanakan perbuatan yang lahiriyahnya maka akan kami lakukan baginya perbuatan lahiriyah pula, demikian pula barangsiapa yang melaksanakan perbuatan batiniyah, maka kamipun akan melaksanakan hal serupa baginya”.

Ketika ada seorang berkata kepada Habib Umar: “Wahai Habib Umar, kelak kami ingin dikubur bersebelahan dan berdekatan denganmu”. kata Habib Umar: “Kami harap akan memberi syafaat bagi seluruh penduduk Huraidzah atau penduduk dunia”.

Ketika ada sebagian orang berkata si fulan lebih baik dari si fulan, maka Habib Umar berkata: “Yang dikatakan orang baik ialah seorang yang telah melewati pintu Syurga hingga masuk ke dalamnya”.

Habib Umar berkata: “Aku beserta putra-putraku di mana saja mereka berada”. Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Habib Umar, bagaimana mungkin engkau dan putra-putramu berada di tempat ini yang jauh dari kota-kota yang besar dan yang terkenal dengan wali-wali mirip kota-kota Tarim?” Jawab Habib Umar: “Harumnya suatu tempat tergantung keharuman penduduknya, demikian pula kami akan mengharumi negeri kami sendiri”.

Habib Umar berkata: “Kezaliman kaum penguasa terhadap rakyatnya akan menambah kebajikan bagi rakyat negeri itu, baik di dalam masalah dunia maupun akhirat, yang sedemikian itu sama halnya dengan sebuah sumur, makin banyak diambil airnya maka sumur itu makin banyak memancarkan air, sebaliknya bila sumur itu tidak diambil airnya, maka tidak akan bertambah airnya sedikitpun, mungkin airnya akan menjadi busuk, karena air di dalamnya tidak pernah bergerak”.

Ketika ada seorang senang memberi yang mengeluh kepada Habib Umar bahawa ia tidak bisa mengerjakan sholat di awal waktunya, dikarenakan ia tidak mau menolak permintaan orang yang minta pinjaman daripadanya meskipun telah tiba waktu sholat, maka Habib Umar berkata: “Wahai saudaraku, bila waktu sholat telah tiba, tinggalkan semua kegiatanmu karena Tuhan lebih pantas untuk diperhatikan daripada yang lain”.

Beliau menganjurkan setiap orang yang telah mengkhatamkan bacaan al-Quran yang ditujukan bagi arwah-arwah orang-orang yang telah wafat, hendaknya ia membaca Tahlil yaitu mengucapkan Laa Ilaaha Illallah seberapa banyak yang ia kehendaki, kemudian dilanjutkan Subhaanallahi Wabihamdih beberapa banyak yang ia kehendaki, kemudian dilanjutkan dengan membaca Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah sebanyak 3 kali dengan memanjangkan bacaannya, kemudian hendaknya ia mengucapkan solawat sebanyak 3 kali yaitu Allahumma Solli ‘Alaa Habibika Sayyidina Muhammadin Wa Alihi Wa Shohbihi Wasallim, kemudian hendaknya ia mengucapkan Ya Rasulullah ‘Alaika Salam Ya Rasulullah Salamun Fi Salamin ‘Alaika sebanyak 3 kali, setelah itu hendaknya membaca al-Fatihah sebanyak 1 kali, surat al-Ikhlas 11 kali, surat al-Falaq sebanyak 1 kali, surat an-Naas sebanyak 1 kali, ayat Kursi 1 kali, selesai surat al-Baqarah 1 kali dan surat al-Qadar 1 kali dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada arwah yang dituju”.

Pernah Habib Umar menganjurkan muridnya membaca Istighfar dan Alhamdulillah sebanyak mungkin setelah seorang membaca Maulud.

Habib Umar menganjurkan untuk memperbanyak membaca Istighfar dan Sholawat, karena keduanya ialah sebaik-baik zikir yang dapat menolong kesulitan di masa kini.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata: “Jika engkau mengucapkan sebanyak 11 kali tiap kali kalimat-kalimat ini, berarti engkau telah menjalankan apa yang pernah diajarkan oleh Habib Umar al-Attas:

Disebutkan ada seorang pengikut Habib Umar berkata beliau: “Aku lihat orang-orang yang berada di majlis ini Wali semuanya”. Kata Habib Umar: “Apa yang engkau katakan itu memang benar”. Ketika orang itu keluar dari Majlis Habib Umar, maka ia ditanya oleh seorang yang hadir dari Majlis itu ihwal maksud ucapan ia kepada orang tersebut. Maka Habib Umar berkata: “Sesungguhnya orang itu telah diangkat menjadi Wali Allah, sehingga melihat orang lain menurut cerminnya, karena seorang mukmin menjadi cermin mukmin lainya”.

Kesaksian orang-orang mulia ihwal kebesaran al-Habib Umar al-Attas

Disebutkan ketika Habib Umar al-Attas dan sekelompok orang datang ke tempat Habib Husin bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, maka Habib Umar berada di jajaran paling belakang di antara mereka dan pakaian ia pun agak lusuh dan buta kedua matanya. Ketika Habib Husin melihat pada diri Habib Umar, maka ia berkata kawan-kawan Habib Umar: “Mengapa kalian lebih menonjolkan hal-hal yang nampak saja hingga kalian tidak mau memuliakan orang ini pada tempat yang semestinya. Andaikata kau tahu kedudukan Habib Umar yang sebenarnya, pasti kalian akan tunduk kepadanya dan pasti kalian akan lebih memuliakan kepada beliau”.

Ketika Habib Muhammad bin Alawi bin Abu Bakar bin Ahmad bin Syeikh Abdurrahman as-Seggaf, seorang wali yang berdomisili di kota Makkah mendapatkan salam dari Habib Umar lewat Syeikh Salim bin Ali Ba’ubad, maka ia menundukkan kepalanya sejenak, kemudian ia berkata: “Hendaknya setiap orang yang berkepala rela menundukkan kepalanya demi menghormati Habib Umar al-Attas dan demi menghormati kebesaran Allah, sesungguhnya saya mendengar bunyi gemerincing dari langit, demi untuk menghormati Habib Umar. Beliau juga mengatakan kini tidak seorangpun di kolong langit yang lebih mulia dari Habib Umar al-Attas.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad pernah menyatakan di sebuah suratnya yang ditunjukkan pada seorang muridnya bahwa di zaman itu tidak seorang walipun yang setara dengan Habib Umar al-Attas.

Disebutkan oleh salah seorang murid Habib Abdullah al-Haddad, bahawa ketika saya berada di majlis Habib Abdullah al-Haddad, maka tergerak hatiku untuk menanyakan kepada ia ihwal sifat Habib Umar al-Attas. Maka secara spontan Habib Abdullah al-Haddad berkata: “Seorang yang mengenali Habib Umar al-Attas, maka ia akan dapati sifat Habib Umar al-Attas mirip dengan Sayyidina Abdurrahman as-Seggaf”.

Kata al-Habib Abdullah al-Haddad: “Habib Umar al-Attas ialah mirip hati dan kebenaran yang dimiliki oleh seseorang dan orang itu tidak memiliki nafsu apapun.”

Ketika Habib Abdullah al-Haddad ditanya seseorang, apakah Habib Umar al-Attas meninggalkan karya tulis atau bait-bait puisi?” Jawab Habib Abdullah: “Yang ditinggalkan oleh Habib Umar ialah orang-orang mirip aku, Syeikh Ali Baras dan Syeikh Muhammad Bamasymus”.

Ketika orang menyebut-nyebut sifat Habib Umar al-Attas di hadapan Habib Abdullah al-Haddad, maka ia berkata: “Itu orang (al-Habib Umar) yang pepohonnya ditanam atas dasar tawadhu dan lemah-lembut, sehingga tangkai-tangkainya mirip itu juga”.

Selanjutnya Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi menyebutkan banyak sekali sifat yang dimiliki oleh Habib Umar al-Attas sebagai berikut:

Habib Umar al-Attas, semenjak di usia kecil, ia sudah gemar beribadah, zuhud dan menjaga dirinya baik-baik dari sifat buruk.
Beliau sentiasa menghormati para Wali Allah, pengayom kaum Muslim, wanita-wanita janda dan bawah umur yatim.

Habib Umar selalu menghibur mereka dengan berita-berita baik, sehingga mereka amat meyakini dan mencintai Habib Umar sepenuh hati.

Di kalangan umum dan khusus, Habib Umar dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata: “Al-Habib Husin bin Syeikh Abu Bakar sangat sangat besar hati dikarenakan Habib Umar menuntut ilmu dari beliau”.

Habib Ali al-Attas berkata: “Habib Umar al-Attas sangat besar hati dikarenakan Habib Abdullah al-Haddad menuntut ilmu dari beliau”.

Habib Muhammad bin Abdurrahman Madihij selalu menganjurkan murid-muridnya untuk pergi ke kota Huraidzah bila mereka memohon ijazah ilmu dari ia karena ketika itu Habib Umar al-Attas masih hidup. Menurut ia Habib Umar ialah tokoh semua keluarga Ba’alawi.

Murid-murid yang pernah berguru dari Habib Umar al-Attas

Di antara murid-murid yang pernah berguru dari Habib Umar adalah: Putra-putra beliau, di antaranya ialah Habib Husin, Habib Salim, Habib Abdurahman, saudara-saudara ia Habib Aqil, Habib Abdullah al-Haddad, Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasyim al-Habsyi, Habib Abdullah bin Ahmad Balfaqih, Habib Muhammad bin Abdurrahman Madihij, Sayis Ali bin Umar bin Husein bin Ali bin Syeikh Abu Bakar, Syeikh Ali Baras, Syeikh Muhammad Bamasymus, Syeikh Muhammad bin Umar Alamudi yang dikenal dengan jolokan Ghozali di Budzah, Syeikh Abdullah bin Usman Alamudi, Syeikh Abdullah bin Ahmad Ba’afif Alamudi, Syeikh Aqil bin Amir bin Daghmusy, Syeikh Sahal bin Syeikh Ahmad bin Sahal Ishaq, Syeikh Abdul Kabir bin Abdurrahman Baqis, Syeikh Muhammad bin Abdul Kabir Baqis, Syeikh Alfaqih Ahmad bin Abdullah bin Syeikh Umar Syarahil Syeikh Umar bin Salim Badzib, Syeikh bin Salim Baubad, Habib Husein bin Syeikh Ali bin muhammad al-Aidrus, Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan, Habib Zein bin Imron Ba’alawi, Syeikh Abbas bin Abdillah Bahafash, Syeikh Umar bin Ahmad al-Hilabi, Abu Said, Habib Abdullah bin Muhammad bin Basurah, Syeikh Muzahim bin Ali Bajabir, Syeikh Ali bin Sholeh, Qouzan Zahir, Al-Faqih Abdurrahim Bakatir, Syeikh Salim bin Abdurrahman Junaid Bawazir, Syeikh Abu Bakar bin Abdurrahman bin Abdul Ma’bud Wazir, Muhammad bin Umar Bawazir, Syeikh Abdullah bin Sad Bamika Syibami, Syeikh Ahmad bin Muhammad Bajamal, Syeikh Ali bin Toha as-Seggaf, Syeikh Umar bin Ali az-Zubaidi Al-Faqih Abdullah bin Umar Ba’ubad, Syeikh Ali bin Ahmad bin Wurud Bawazir, Habib Aqil bin Syeikh as-Seggaf, Habib Syeikh bin Abdurrahman al-Habsyi, Syeikh Ali bin Haulan, Syeikh Ali bin Kosim al-Udzri, Syeikh Mahmud Jummal an-Najar yang pernah bertemu dengan Hidzir tetapi tidak meminta do’a karena merasa cukup dengan do’a gurunya iaitu Habib Umar.

Habib Umar bin Abdurrahman Albar pernah berkata kepada Habib Ali bin Hasan al-Attas: “Wahai Ali, sesungguhnya seluruh penduduk Hadhramaut pernah berafiliasi dengan kakekmu al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas. Di antara mereka ada yang berafiliasi dengan ia dari satu jalur, ada yang berafiliasi dengan ia dari dua jalur, bahkan ada yang berafiliasi dengan ia dari tiga jalur”.

Dipetik dari:

-Biografi al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas, oleh Thohir bin Abdullah al-Kaf, terbitan Daar al-Muhajir
-Ringkasan Sejarah al-Habib Umar ibn Abdurrahman al-Attas: dalam rangka peringatan Haul yang ke-347 al-Imam al-Arif Billah al-Qutb Rabbani Tahyyibul Anfas al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas
-Kelebihan Ratib: Huraian Ratib al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas, oleh Syed Hassan bin Muhammad al-Attas, Masjid Ba’alwi Singapura, terbitan Hamid Offset Service

sumber : pecintahabibana.wordpress.com
 
Top